Search

Rabu, 26 Maret 2008

Bunuh Diri dan Jerat Kemiskinan

Bunuh Diri dan Jerat Kemiskinan

Harian JogloSemar, 25-03-2008
Oleh Benni Setiawan

Fenomena bunuh diri yang kian marak belakangan ini sungguh sangat menyayat hati dan mengusik rasa kemanusiaan sekaligus keprihatinan yang mendalam. Belum lekang dari ingatan peristiwa bunuh diri seorang ibu bersama dua puteranya di Pekalongan, Jawa Tengah, dengan cara menceburkan diri ke dalam bak kamar mandi.
Sebelumnya, di Sleman, Yogyakarta, seorang ibu mengakhiri hidup dengan cara membakar diri bersama kedua orang anaknya. Demikian pula yang dilakukan oleh Ny Mercy bersama anak-anaknya di Malang Jawa Timur yang bunuh diri dengan meminum racun. Cara serupa juga ditempuh Golid warga Drono, Ngawen, Klaten yang nekat gantung diri lantaran tekanan ekonomi. Bahkan karena tak kuasa melihat istrinya yang harus berobat ke rumah sakit seorang anggota Brimob di Padang Sumatera Barat mencoba bunuh diri.
Banyaknya kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri berkait erat dengan kemiskinan. Karena kemiskinan, seseorang dapat melakukan hal-hal yang di luar kewajaran. Mencopet, merampok atau bahkan bunuh diri. Kemiskinan seakan menjadi ancaman serius bagi bangsa ini. Bangsa yang konon terbentang luas dari Sabang hingga Merauke. Bangsa yang subur makmur, gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo sarwo tukul kang tinandur. Apakah keadaan itu masih ada di bumi nusantara ini?
Ternyata falsafah di atas berbanding 180 derajat. Di negeri ini yang ada adalah harga beras mahal. Banyak masyarakatnya makan nasi aking, nasi jagung, dan tiwul, karena tidak mampu membeli beras. Kelaparan menjadi hal yang biasa. Bayi kurang gizi menjadi pemberitaan setiap hari. Sedangkan wakil rakyat meminta kenaikan gaji dan tunjangan hingga 200 persen.
Lahan pertanian disulap menjadi bangunan megah dan mal yang mengangkang di tengah desa. Sawah-sawah telah dipenuhi air bah (banjir). Petani tidak bisa panen. Harga bibit padi mahal demikian pula dengan harga pupuk Sedangkan pemimpin di Badan Urusan Logistik (Bulog) bergelimangan harta karena korupsi.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2004 penduduk miskin Indonesia mencapai 36,1 juta jiwa atau 16,7 persen. Jumlah ini meningkat drastis menjadi 63,6 juta jiwa atau 28,9 persen, pada tahun 2006. Bahkan menurut penelitian ekonom dari Universitas Indonesia (UI), dengan menggunakan kriteria penghasilan dari Bank Dunia, sebesar dua dolar perhari atau sekitar Rp 18.000/hari, maka 49 persen penduduk di negeri ini tergolong miskin.



Angka kemiskinan tentunya berbanding lurus dengan angka pengangguran. Pengangguran terbuka pada tahun 2004 mencapai 9,7 persen. Pada tahun 2005 pengangguran terbuka meningkat menjadi 10,3 persen. Akibat kesulitan ekonomi pada tahun 2006 diperkirakan jumlah pengguran menjadi 11,1 persen. Bila ditotal secara keseluruhan jumlah pengangguran (terbuka, setengah terbuka, dan terselubung) terjadi peningkatan signifikan dari tahun 2004 berjumlah 39,0 persen menjadi 40,1 persen tahun 2005 dan diperkirakan 41,0 persen pada tahun 2006.


Kemiskinan Fisiologis
Angka pengangguran yang tinggi sepertinya masih biasa-biasa saja. Artinya, masih banyak orang yang bekerja di sektor publik seperti buruh di pabrik-pabrik belum mendapatkan haknya secara penuh. Mereka harus bekerja selama delapan jam atau bahkan lebih, hanya menjadi pekerja kasar tanpa gaji yang memadai. Alih-alih untuk makan, untuk biaya transportasi saja masih kurang.
Buruh yang konon termasuk pekerja (bukan pengangguran) termasuk dalam klasifikasi penduduk miskin. Gaji buruh di Indonesia berkisar Rp 507.000/ bulan. Padahal untuk ukuran kemiskinan yang mengacu pada perhitungan BPS penghasilan perkapita adalah Rp 175.000/bulan atau Rp 700.000/tahun. Maka sudah dapat kita pastikan bahwa seluruh buruh di Indonesia tergolong masyarakat miskin.
Kembali pada persoalan bunuh diri. Gambaran di atas adalah realitas nyata keadaan masyarakat Indonesia. Masyarakat penuh kekurangan dan hidup dalam penderitaan. Maka tak aneh jika banyak masyarakat stres memikirkan hidup dan pada akhirnya mengakhiri hidupnya dengan gantung diri, minum racun dan sebagainya.
Masyarakat Indonesia berada pada kubangan kemiskinan fisiologis dan psikologis. Secara fisik dia sudah miskin, tidak mempunyai barang yang dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan pokok setiap hari. Secara psikologis mereka ditekan untuk membeli beras dengan harga yang terus melambung tinggi. Lebih dari itu, mereka selalu dipertontonkan oleh perilaku pemimpin bangsa yang saling serang, korupsi dan tidak peduli dengan beban penderitaan rakyatnya.

Perubahan Sosial
Perilaku bunuh diri sudah saatnya diakhiri. Yaitu dengan pertama, agama sebagai motor perubahan sosial. Sebagaimana telah diungkapkan oleh Marx Weber (1864-1920). Sudah bukan zamannya, agama hanya diperdebatkan dalam ranah teologis yang melangit. Sudah saatnya ajaran agama menjadi hal yang membumi dan mampu menyentuh persoalan riil di tengah masyarakat.
Kedua, pendidikan yang memihak. Sudah saatnya pemerintah pada khususnya dan masyarakat pada umumnya memikirkan formula yang tepat agar generasi penerus mampu berkarya dengan baik dan tidak putus asa. Salah satunya adalah dengan memberikan akses seluas-luasnya agar masyarakat mampu menikmati pendidikan. Sekolah murah dan didukung oleh buku-buku yang berbobot.
Dengan pendidikan seseorang akan mampu berfikir jernih dan mandiri. Artinya, ilmu pengetahuan yang diperoleh akan dapat dipergunakan sebagai bekal dalam menyelesaikan persoalan yang datang silih berganti.
Ketiga, komitmen pemimpin bangsa untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi. Korupsi telah banyak mengambil hak-hak masyarakat miskin. Hak hidup, sosial, politik, budaya, dan pendidikan.
Bangsa ini tentunya perlu belajar dari China dalam memberantas korupsi. Adalah Zhu Rongji Perdana Menteri China (1997-2002), pernah berkata beri saya 100 peti mati, 99 akan saya pergunakan untuk mengubur para koruptor, dan satu untuk mengubur saya, kalau melakukan tindak korupsi. Maka dibutuhkan komitmen dan keberanian untuk memberantas korupsi. Bukan tebang pilih sebagaimana terjadi selama ini.

Penulis adalah peneliti pada Yayasan Nuansa Sejahtera Solo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar