Search

Senin, 26 Mei 2008

BLT Sebagai Kebohongan Publik

Wawasan, Senin, 26 Mei 2008


PEMERINTAH SBY-JK kembali akan menaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Kenaikan kali ini berkisar 20-30 persen dari harga sekarang. Kenaikkan BBM adalah cerminan tidak berpihaknya penguasa (baca: pemerintah) kepada rakyatnya. Kenaikan harga BBM tentunya sangat merugikan-kalau tidak mau disebut menyengsarakan rakyat. Rakyat dipaksa hidup dengan kondisi yang pas-pasan, sedangkan pemerintah menikmati kenaikan gaji di tengah penderitaan rakyat.
Kondisi ini diperparah oleh sistem subsidi yang timpang dari pemerintah. Pemerintah dengan sengaja menidurkan rakyat dengan sekian rayuan dengan kedok subsidi untuk rakyat.
Kali ini pun pemerintah sudah menyiapkan dana sekitar Rp 3 triliun yang akan dibagikan melalui program bantuan langsung tunai (BLT). Padahal ini sistem ini tidak terbukti efektif dalam menolong masyarakat pascakenaikan harga BBM. Malah pada tahun 2005 lebih dari tiga orang tewas akibat antri mendapatkan BLT sebesar Rp 100.000. Rakyat dipaksa antri seperti pengemis yang pesakitan guna mendapatkan talangan dana dari pemerintah.
Pemerintah pun kelihatannya enjoy melihat keadaan ini. Mereka masih seringkali melontarkan gagasan-gagasan ’’cerdas” guna meredam gejolak masa. Seperti bahwa dengan kenaikan BBM Anggaran Pendapan Belanja Negara (APBN) akan terselamatkan.
Padahal menurut hitung-hitungan alasan pemerintah tersebut terlalu mengada-ada. Simaklah perbandingan antara APBN dan APBN-2008 berikut. Dalam APBN 2008, harga minyak mentah dipatok sebesar 60 dolar Amerika per barel. Dengan asumsi seperti itu, beban subsidi berjumlah Rp 45,8 triliun, sedangkan penerimaan minyak bumi (PMB) berjumlah Rp 84,3 triliun. Selanjutnya, dalam APBN-P 2008, harga minyak mentah dipatok sebesar 95 dolar Amerika per barel. Dengan asumsi baru ini, beban subsidi BBM meningkat menjadi Rp 126,8 triliun, sedangkan PMB meningkat menjadi Rp 149,1 triliun (Revrisond Baswir, KR, 12 Mei 2008).
Dengan demikian kenaikan harga minyak mentah dunia tidak akan berpengaruh terhadap anggaran negara. Hal ini dikarenakan, Indonesia adalah termasuk negara pengekspor minyak.
Maka dari itu, subsidi kenaikan harga BBM juga telah mengindikasikan pemerintah ingin menyelematkan reputasi di mata negara donor (kaum neolib). Kesepakatan dengan kaum neolib seringkali mengakibatkan hilangnya rasa welas asih pemerintah kepada rakyat.
Pemerintah dengan sengaja menggembar- gemborkan bahwa dengan kenaikan harga BBM rakyat akan sejahtera, melalui iklan-iklan layanan masyarakat. Iklan sengaja dikonstruk guna memperlemah argumentasi rakyat guna menolak dan menyerang pemerintah.
Kenaikan harga bahan bakar minyak sejak tanggal 1 Maret 2005 disusul kemudian pada tanggal 1 Oktober 2005 dan akan naik sebentar lagi merupakan musibah terbesar bagi bangsa Indonesia. Artinya, musibah ini tidak serta merta meluluhlantakan bangunan-bangunan menjulang tinggi bak tsunami ataupun gempa yang menewaskan beribu-ribu nyawa manusia dalam sekejab, melainkan ’’mematikan” rakyat pelan tapi pasti.
Kenaikan harga BBM yang kurang wajar ini tentunya membuat semua kalangan kalang-kabut. Hal ini dikarenakan, kenaikan harga BBM tentunya akan diikuti oleh naiknya semua harga kebutuhan hidup.
Rakyat Indonesia yang hidup dari hasil pertanian dan buruh pabrik tentunya akan sangat menderita dengan kenaikan ini. Pendapatan mereka tidak akan cukup untuk makan saja. Pendapatan mereka hanya cukup untuk naik angkot dari rumah hingga pabrik tempat kerja. Demikian pula dengan petani, pendapatan panennya hanya cukup untuk membuat pesemaian baru dan membayar harga pupuk. Upah pekerja yang menggarap sawah mereka masih harus ’’ditomboki” (harus berhutang lebih dahulu).

BLT sebesar Rp. 100.000,- perbulan hanya cukup untuk membeli lauk berupa tempe. Apalagi BLT dibayarkan dalam jangka waktu tiga bulan sekali. Rakyat harus berhutang terlebih dahulu kepada tetangga yang masih punya dana dan diganti tiga bulan kemudian. Pendek kata, rakyat sudah mati terlebih dahulu sebelum subsidi turun.
Gambaran sederhana tersebut di atas terjadi di tengah masyarakat. Subsidi yang konon diberikan pun tidak lebih sebagai penghibur dan mimpi di siang bolong. Artinya, tidak semua rakyat yang membutuhkan mendapatkannya. Sebagaimana terjadi di berbagai daerah akhir-akhir ini. Tidak ada zamannya kenaikan harga BBM menguntungkan rakyat.
Rakyat Indonesia masih lumpuh dalam berbagai hal. Mereka belum dapat bangkit menata kehidupannya yang porak-poranda pascakrisis moneter tahun 1998. Kenaikan harga BBM untuk ketiga kalinya dalam tiga tahun terakhir ini sungguh menambah beban. Apakah pemerintah tidak melihat betapa rakyat masih banyak menderita akibat busung lapar dan kelaparan yang diakibatkan kemiskinan?
Kemiskinan yang menggurita ini tentunya tidak cukup dibantu dengan Rp 100.000 dan menaikan harga kebutuhan hidup. Apa artinya Rp 100.000 dibandingkan dengan pengeluaran yang lebih besar perharinya.

Rakyat Indonesia masih banyak menjadi buruh yang digaji di bawah Rp 300.000. Bahkan beberapa bulan yang lalu, ketika penulis berkunjung ke Jakarta pada sebuah pabrik, pekerjanya hanya digaji Rp 150.000 per bulan, bagi pekerja yang sudah lama masa kerjanya dan Rp 100.000 untuk pekerja baru. Bagaimana mereka mencukupi kebutuhan hidupnya di kota Jakarta yang serba mahal dan membutuhkan uang. Ibaratnya, kencing di Jakarta itu bayar.
Pada akhirnya, pemberian BLT merupakan aksi tipu (kebohongan publik) pemerintah. Pemerintah dengan sengaja meninabobokan rakyat dengan bantuan uang Rp 100.000 per bulan. Padahal kenaikan BBM tidak perlu terjadi kalau pemerintah berani keluar dari kekangan kaum neolib. hf


Benni Setiawan Peneliti Lentera Institute

Jumat, 23 Mei 2008

Pemimpin Sehat & Pemimpin Sakit

Solo Pos, Edisi : Kamis, 22 Mei 2008 , Hal.4


Benarkah pemimpin bangsa ini sehat? Dan mereka lebih beruntung daripada manusia yang secara lahiriah mengalami keterbelakangan mental?

Pemimpin adalah seseorang yang dengan sadar menjalankan amanah yang diemban untuk kepentingan bersama, bukan pribadi dan golongan. Menjadi pemimpin berarti mampu memimpin diri sendiri dan menjadi panutan yang dipimpin. Ia akan berusaha sekuat tenaga untuk menjalankan amanahnya dengan baik dan benar.
Kemudian apa yang terjadi di negeri yang sedang dilanda krisis kepemimpinan ini? Rakyat dipaksa antre minyak tanah, kekeringan, banjir dan kelaparan. Banyak sekolah roboh, pejabat Indonesia dengan sikap bak kesatria menohok hati rakyat.
Bahkan di tengah kemiskinan yang semakin meningkat, pemerintah berencana menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi rata-rata 28,7 persen. Menurut hitung-hitungan Revrisond Baswir (Kedaulatan Rakyat , 12 Mei 2008), dalam APBN 2008, harga minyak mentah dipatok senilai 60 dolar Amerika per barel.
Dengan asumsi seperti itu, beban subsidi berjumlah Rp. 45,8 triliun, sedangkan penerimaan minyak bumi (PMB) berjumlah Rp. 84,3 triliun. Selanjutnya, dalam APBN-P 2008, harga minyak mentah dipatok sebesar 95 dolar Amerika per barel. Dengan asumsi baru ini, beban subsidi BBM meningkat menjadi Rp 126,8 triliun, sedangkan PMB meningkat menjadi 149,1 triliun.
Maka sebenarnya BBM tidak perlu dinaikkan, karena Indonesia termasuk negara pengekspor minyak. Kenaikan BBM pada dasarnya merupakan salah bukti kelemahan pemerintah dalam melakukan diplomasi dengan negara asing (kaum neolib).
Negara besar ini harus tunduk patuh pada kekuatan asing yang menjadikan bangsa ini semakin terpuruk, tidak mempunyai kemandirian dan pada akhirnya rakyatnya yang menjadi korban.

Selain diserang dari luar, bangsa ini juga dipaksa menyerah kepada cukong kelas kakap yang beroperasi di dalam negeri. Mereka membabat hutan Indonesia hingga habis. Maka tidak aneh jika luas hutan Indonesia dari tahun ke tahun semakin menyusut. Menurut data pada tahun 1984 luas hutan Indonesia mencapai 193,1 juta hektare. Pada tahun 1991 turun menjadi 191,8 juta hektare. Pada tahun 2003 luas hutan Indonesia tinggal 123,7 juta hektare dan pada tahun 2005 tinggal 123,5 juta hektare.
Padahal emisi karbon dioksida paling besar disumbangkan oleh sektor kehutanan, sebesar 75 persen dari konversi lahan dan deforestasi (kerusakan hutan), 23 persen dari penggunaan energi sektor kehutanan, dan dua persen dari proses industri sektor kehutanan.
Tidak hanya itu, anggota DPR berbondong-bondong liburan dalam acara kunjungan kerja. Mereka tidak lupa membawa sanak saudara bertamasya ke luar negeri dengan uang rakyat. Padahal di sisi lain banyak masyarakat Indonesia harus mengungsi akibat banjir, tanah longsor, dan kekeringan.
Apa yang terjadi pada pucuk pimpinan negeri ini? Mereka berlomba-lomba merebut simpati rakyat untuk mempertahankan kekuasaan pada tahun 2009. Di dalam negeri mereka tebar pesona dengan mengunjungi petani, nelayan dan Sidak ke pasar-pasar. Mereka juga tebar uang dengan memberikan dana bantuan atas nama pribadi. Bencana alam seperti banjir, gunung meletus, dan kekeringan dijadikan komoditas untuk menaikkan pamor dan ”perhatian” kepada rakyat.
Mereka pun juga saling serang. Entah dengan slogan tebar pesona, tebar kinerja, maupun”saya sudah memesona”. Pemimpin di negeri ini selalu disibukkan oleh agenda politik menuju 2009, sehingga agenda kerakyatan menjadi tidak terurus dan tanpa makna.
Tidak hanya di dalam negeri, mereka juga mencoba menarik simpati luar negeri. Apa yang terjadi? Pemimpin bangsa besar ini kehilangan keberanian untuk menegakkan kedaulatan sebagai bangsa dan negara.


Betapa tidak, di tengah semakin banyaknya tenaga kerja Indonesia (TKI) disiksa hingga meninggal dunia, duta olah raga dihajar empat polisi hingga babak belur, batik, angklung dan lagu Rasa Sayange dan baru-baru ini reog Ponorogo dalam proses paten negara tetangga. Mereka (pemimpin bangsa ini) hanya dapat tersenyum dan menyatakan,”permintaan maaf adalah bagian dari kepribadian seseorang.”
Bangsa ini sudah tidak mempunyai kedaulatan lagi. Yang ada hanyalah kekuasaan dalam negeri yang garang terhadap rakyatnya sendiri dan “loyo” menghadapi luar negeri. Kritikan dari dalam negeri dianggap ancaman serius, sehingga harus segera diselesaikan di meja hijau. Akan tetapi, kedaulatan negara yang diinjak-injak melalui perjanjian kerja sama militer, pencaplokan kekayaan bumi nusantara hanya dianggap angin lalu.
Lupa Tuhan
Pemimpin bangsa ini juga telah melupakan eksistensi Tuhan. Ia tidak lagi mempercayai Tuhan sebagai kekuatan di luar manusia. Pemerintah sepertinya melupakan anugerah yang telah diberikan oleh Tuhan kepada manusia.
Tuhan pun menjadi tidak ada di negeri ini.
Yang ada hanyalah penuhanan terhadap kekuasaan, kekayaan dan jabatan. Pemegang kekuasaan merasa dirinyalah yang paling berjasa di negeri ini. Maka, ia dengan bangga mengajukan kenaikan gaji dan tunjangan di tengah penderitaan dan kelaparan masyarakat Indonesia.
Bahkan, pemerintah dan elite politik sekarang sedang merayakan pesta persiapan menduduki kursi kepresidenan tahun 2009 di tengah berbagai bencana dan pilu air mata rakyat yang belum mengering.


”Sakit”
Patutlah negeri ini sedang dipimpin oleh pemimpin yang ”sakit mental”. Samuel Mulia dalam sebuah media nasional, menyoroti pemimpin yang lupa berterima kasih dengan rasa syukur. Pemimpin yang bangga melakukan kesalahan padahal mereka dibekali akal sehat oleh Sang Kuasa sehingga sebetulnya mampu berpikir kalau kegiatan itu salah, menyengsarakan orang lain, dan terutama tak diberkati Sang Kuasa. Akan tetapi, mereka tetap saja melakukannya dan berani melawan Sang Kuasa.

Jika dibandingkan berat mana ”sakit mental” pemimpin bangsa ini dengan mereka yang benar secara lahiriah mengalami keterbelakangan mental, ternyata yang dialami pemimpin bangsa ini lebih berat. Hal ini dikarenakan, pemimpin bangsa ini sehat secara fisik, tetapi melakukan kegiatan yang jauh dari akal sehat.
Itu lebih parah dari sekadar sakit mental yang membuat manusia hanya bisa meloncat sekian sentimeter dari pijakan awal. Dan yang sebetulnya tidak beruntung adalah pemimpin bangsa ini, bukan mereka yang selama ini dikatakan tidak beruntung.
- Benni Setiawan Alumnus Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga

Senin, 19 Mei 2008

Selamat Menikmati Indahnya Hidup Berdua



Hari ini sahabat saya M. Hilmy Faiq dan Sri Rahmawati resmi menjadi pasangan suami istri
Ijab Kabul di Balikpapan Kalimantan Timur
Karena keterbatasan dana, saya tidak bisa hadir di sana.
Mungkin hanya ini yang dapat saya lakukan untuk pernihakan mereka



BARAKALLAHU LAKA WA BARAKA ALAIKA WAJAMA'A HUMA ALLAHU BI KHOIR

Selasa, 13 Mei 2008

Menggugat Sekolah Berlabel Unggulan



Artikel Moh. Muhibbin, Menyikapi Pesono Sekolah Unggulan, (Kompas, Jum'at 2 Mei 2008), menarik untuk dikaji lebih lanjut. Moh. Muhibbin dalam pandangan saya pada dasarnya menggugat eksistensi sekolah berlabel unggulan. Hal ini terlihat jelas dalam kalimat, Ini artinya prinsip penyelenggaraan pendidikan (proses belajar- mengajar) yang bernapaskan egalitarian tidak bisa diabaikan, kecuali pengelolanya dari awal sudah menerapkan sistem pembenaran keunggulan dalam disparitas dan diskriminasi yang bertumpu pada kapitalisme pendidikan. "Apa yang distigmakan dalam kosakata "unggulan" terbatas pada strategi pemenuhan kebutuhan pasar elite yang menuntut pemuasan dari ambisi status sosialnya".
Maka tulisan ini hanya ingin mempertegas apa yang telah dikemukakan oleh Moh Muhibbin.
Merebaknya sekolah yang mengklaim dirinya unggul merupakan fenomena dalam masyarakat. Sekolah unggul setidaknya telah mencerminkan adanya pendikotomian antara sekolah unggul dan tidak unggul. Pendikotomian ini tentunya sangat sulit jika diukur dengan parameter keberhasilan peserta didik dalam proses pendidikan.
Apakah sekolah yang tidak unggul hanya mampu meluluskan peserta didiknya dengan nilai rata-rata Ujian Akhir Nasional (UAN) 5,25. Sedangkan sekolah unggul telah berhasil meluluskan peserta didiknya dengan nilai UAN rata-rata 8,5? Atau sekolah unggul yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas mewah dan komplit sedangkan sekolah tidak unggul tidak mempunyai fasilitas penunjang kecuali buku-buku perpustakaan yang mulai menguning? Atau sekolah unggul yang berada di perkotaan sedangkan sekolah tidak unggul berada di pedesaan? Dan seterusnya.

Pada intinya sangat sulit untuk menentukan apakah sekolah tersebut tergolong unggul atau tidak. Jika dipaksakan yang dinamakan sekolah unggul adalah yang memperoleh jenjang Akreditasi Badan Akreditas Sekolah A, maka hal ini perlu dikaji lebih lanjut.
Sekolah yang telah mendapatkan tingkat akreditasinya A biasanya hanya diukur dari sejauh mana (baca: berapa nilai) kelulusan peserta didik tersebut. Ketika sekolah belum mampu memperoleh angka nilai sesuai dengan nilai akreditasi maka sekolah tersebut hanya mendapatkan status, diakui, disamakan, diakreditasi A,B dan seterusnya.

Persoalan yang muncul kemudian adalah apakah dengan nilai yang tinggi tersebut ada jaminan bahwa peserta didik juga memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi. Ambil contoh, kecerdasan dalam bertingkah laku dan berhubungan dengan orang lain. Pada kenyataanya lembaga yang bernama sekolah telah banyak menghasilkan koruptor kelas kakap yang bertitel panjang. Dan mungkin salah satu dari mereka adalah "jebolan" sekolah unggul tersebut.

Reorientasi
Maka diperlukan orientasi baru atau pemaknaan baru tentang sekolah unggul. Sekolah unggul selayaknya tidak hanya dibekali dengan berbagai fasilitas yang mewah dengan biaya yang mahal. Akan tetapi, sekolah unggul mampu mendidik peserta didiknya menjadi manusia yang mandiri dan mampu bertanggung jawab.
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Driyarkara (1980) bahwa misi pendidikan yang utama adalah proses pengangkatan manusia muda ketaraf insani sehingga ia dapat menjalankan hidupnya sebagai manusia utuh dan membudayakan diri. Pendidikan sebagai proses hominisasi dan humanisasi, membantu manusia muda untuk berkembang menjadi manusia yang utuh, bermoral, bersosial, berwatak, berpribadi, berpengetahuan, dan berohani.
Pendidikan berarti memasukkan anak ke dalam alam nilai-nilai, juga memasukkan dunia nilai ke dalam jiwa anak. Pendidikan di sini sebagai suatu bentuk hidup bersama, pemasukan manusia muda kea lam niali-nilai dan kesatuan antar pribadi yang mempribadikan. Mendidik adalah pertolongan atau pengaruh yang diberikan oleh orang yang bertanggung jawab kepada anak agar mereka menjadi dewasa.
Maka peran sekolah sebagai lembaga pendidikan harus mampu melakukan upaya-upaya tersebut di atas. Ketika upaya tersebut telah tercapai, maka, sekolah dapat memproklamirkan dirinya menjadi sekolah unggul.
Sekolah unggul yang hanya mengedepankan aspek kognitif saja tentunya hanya akan mendapatkan pujian dan "kebanggaan dari masyarakat". Artinya, ia diidolakan dan cari oleh masyarakat untuk dapat mengembangkan dan meraih (mewujudkan) cita-cita anaknya, yang pada dasarnya hanya memacu dan berorientasi pada pengembangan aspek kognitif belaka.



Parahnya jika sekolah unggul hanya menjadikan persoalan tersendiri bagi masyarakat. Artinya, sekolah unggul menunjukkan keunggulannya dan merendahkan sekolah-sekolah lain. Sekolah unggul berani beriklan di sejumlah surat kabar dan media elektronik dengan memberikan jaminan kelulusan dengan nilai tinggi.
Persoalan lain yang muncul adalah terjadinya ketimpangan dan keminderan bagi sebagai peserta didik yang bergaul di lingkungannya. Anak-anak sekolah unggul yang harus dipacu belajar sehari penuh akan sulit bergaul dan bersosialisasi dengan anak yang lain. Ia cenderung terkungkung dalam aktivitas yang membelenggu. Ketika ia harus keluar rumah, ia akan menjadi anak yang "aneh" karena sulit bergaul dan memperlihatkan ke-aku-annya menjadi peserta didik sekolah unggul.
Lebih lanjut, keadaan seperti ini akan menjadikan anak antirealitas sosial. Dan ketika ia memegang jabatan publik yang penuh dengan materi (uang) ia tidak segan-segan untuk melakukan korupsi yang pada dasarnya sangat merugikan orang lain. Maka, seyogyanyalah sekolah unggul memposisikan dirinya sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tidak hanya mendorong peserta didik untuk mendapatkan nilai UAN yang tinggi melainkan mendidik peserta didik menjadi insan mandiri dan bertanggung jawab.

*)Benni Setiawan, Penulis Buku Manifesto Pendidikan Indonesia.
(Versi asli, karena saya belum dapat versi muatnya).
Kompas edisi Jatim, 12 Mei 2008.

Rabu, 07 Mei 2008

Gizi Buruk dan Jerat Kemiskinan


Bagai ayam mati di lumbung padi. Kira-kira pepatah tersebut sedikit menggambarkan kondisi bangsa Indonesia. Negeri subur makmur, gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo, sarwo tukhul kang tinandur. Namun, kini negeri Zamrud Katulistiwa ini sedang dilanda krisis. Krisis multidimensional yang memorak-porandakan tatanan sosial masyarakat. Pejabat di negeri ini “doyan” korupsi dan antikritik. Rakyatnya dibiarkan mati kelaparan karena harga-harga melambung tinggi. Anak-anak kecil dibiarkan kurus kering karena gizi buruk.
Menurut data Departemen Kesehatan (Depkes) Republik Indonesia, pada tahun 2004 jumlah balita gizi kurang dan buruk adalah 5.119.935 dan jumlah balita gizi buruk adalah 1.528.676. Pada tahun 2005 turun menjadi 4,4 juta atau berkurang 13,7 persen. Tahun 2006 adalah 4,2 juta dan tahun 2007 menjadi 4,1 juta. Jika ditotal secara keseluruhan dalam empat tahun terjadi penurunan sebesar 20 persen.
Walaupun demikian, jumlah penurunan penderita balita gizi buruk tidak sebanding dengan besarnya anggaran yang meningkat setiap tahun. Masih menurut data yang sama, pada tahun 2004 total anggaran untuk gizi buruk adalah Rp. 170 miliar. Tahun 2005 meningkat menjadi Rp. 175 miliar. Tahun 2006 meningkat tiga kali lipat menjadi Rp. 582 miliar dan pada tahun 2007 meningkat lagi menjadi Rp. 700 miliar.
Kepala Subbidang Bina Kewaspadaan Gizi Departemen Kesehatan Tatang S. Falah kepada media menargetkan, pada 2009, angka gizi kurang dan gizi buruk berkurang hingga 20 persen. Hal ini berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2005, yang menyebutkan angka gizi buruk dan gizi kurang adalah 28 persen dari jumlah anak Indonesia.
Sepanjang 2006, menurut Direktur Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan Ina Hernawati, pemerintah baru menangani 19.567 kasus gizi buruk. Jumlah tersebut menurun jauh dibanding pada 2005, yang mencapai 76.178 kasus.
Namun, Survei Sosial Ekonomi Nasional 2005 yang dilakukan Badan Pusat Statistik menyebutkan estimasi kasus gizi buruk hingga 2006 mencapai sekitar 8,8 persen dari jumlah anak di Indonesia. Itu berarti ada sekitar 1,5 juta anak yang diperkirakan mengalami gizi buruk. (Tempo Interaktif, 3 Januari 2007)
Beberapa data di atas menunjukkan, fakta bahwa angka balita gizi buruk masih cukup tinggi. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa fenomena gizi buruk masih saja menjadi momok bangsa besar seperti Indonesia?
Faktor yang menyebabkan masih tingginya tingkat gizi buruk di Indonesia adalah, kemiskinan. Menurut data Bank Dunia dengan kriteria penghasilan 2 dolar per hari, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 124 juta orang atau separo lebih (56,4 persen) dari jumlah penduduk Indonesia (220 juta).
Kemiskinan ini dipicu oleh jaminan kehidupan yang sangat rendah, mulai dari pendapatan rendah, pendidikan rendah, jumlah tanggungan banyak, atau karena musibah.
Kemiskinan menjadikan seseorang tidak mempunyai daya beli. Artinya, mereka akan kesulitan memberikan makanan sehat dan bergizi pada anak-anaknya. Mereka hanya mampu membeli bahan makan pokok saja, itu pun tidak setiap hari. Mereka seringkali harus “puasa” Daud (sehari puasa sehari tidak) guna mempertahankan kehidupan di tengah himpitan dan tekanan hidup.
Akibat kemiskinan, menurut UNICEF, 69 juta orang di Indonesia tidak memiliki akses terhadap sanitasi dasar dan 55 juta orang di Indonesia tidak memiliki akses terhadap sumber air yang aman. Menurut sumber tersebut, keadaan yang demikian ini menyebabkan setiap tahun 100.000 anak berusia dibawah 3 tahun di Indonesia meninggal karena penyakit diare. Ditambahkan juga bahwa setiap harinya ada sekitar 5.000 anak dibawah umur 5 tahun yang meninggal karena diare itu (Kompas, 28 Maret 2008).
Hal itu diperparah oleh tingkah laku elit pemerintahan yang tidak pernah berpihak. Para pejabat masih saja suka untuk melakukan tindak pidana korupsi. Mereka lebih mementingkan diri sendiri daripada orang lain. Mungkin dalam pikiran pejabat Indonesia, “biarkan orang lain mati dalam keadaan papa, namun saya tetaplah pejabat pemerintah yang bergelimangan harta”.
Lebih dari itu, pemerintah sepertinya tidak kuasa untuk menahan laju atau perkembangan harga-harga kebutuhan pokok. Pemerintah hanya mampu mengeluarkan kebijakan-kebijakan pragmatis yang miskin strategi tanpa makna. Seperti operasi harga dengan menggelar pasar murah, membebaskan biaya import dan memberikan subsidi kepada produses kecil.



Bahkan, pemerintah beralasan bahwa kenaikan harga-harga kebutuhan pokok dikarenakan, melambungnya harga minyak mentah di pasaran dunia. Atau harga-harga di luar negeri sedang tinggi.
Perilaku pemerintah tersebut sudah saatnya dihentikan. Pemerintah sudah saatnya “cancut tali wondo” (bergerak cepat) dalam mengatasi kasus gizi buruk ini. Salah satunya dengan, mengefektifkan kembali penyuluhan masyarakat melalui pos pelayanan terpadu (Posyandu) yang tidak hanya diperuntukkan bagi warga asli, melainkan juga merangkul warga pendatang.
Membuka seluas-luasnya lapangan pekerjaan, akses sekolah gratis bermutu dan dibebaskannya masyarakat dari biaya berobat juga penting. Hal ini dikarenakan, tiga hal tersebut di atas adalah impian masyarakat. Dengan hal tersebut, masyarakat miskin akan mampu mendayagunakan potensi yang telah diberikan oleh Tuhan kepada mereka.
Pekerjaan dapat menjamin seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup dalam hal materi. Dengan pendidikan masyarakat mampu belajar dan menjadikan insan mandiri. Dan dengan dibebaskannya biaya berobat, masyarakat miskin dapat segera sehat tanpa harus mengeluarkan biaya.
Pada akhirnya, anak-anak Indonesia perlu dibebaskan dari derita gizi buruk akibat kemiskinan orang tuanya. Ketika anak Indonesia masih saja dalam belenggu gizi buruk akibat orang tua mereka miskin dan pemerintah hanya tinggal diam, maka saat ini kita sedang menyaksikan dan meninggalkan generasi muda penerus bangsa yang lemah. karena menderita gizi buruk. Allahu A’lam.

*)Benni Setiawan, Dosen di Universitas Muhammadiyah Jember.
Koran Tempo, 07 Mei 2008.