Search

Minggu, 22 November 2009

Menilik Sejarah Pemikiran Militer




Resensi, Seputar Indonesia, Minggu, 22 November 2009

Setiap 10 November bangsa Indonesia memeringati Hari Pahlawan.Sebuah hari penghormatan yang didedikasikan kepada para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia,khususnya untuk arek-arek Surabaya.

Rakyat Surabaya menghadapi tentara Inggris sebagai unit kesatuan yang (solid) kokoh dan akan bertempur dengan semboyan “Merdeka atau Mati”, sumpah yang telah diucapkan bersama. Pemikiran militer secara kolektif rakyat Surabaya adalah sederhana, tidak berbelit-belit (halaman 237). Apa yang terjadi di Surabaya menjadi penanda bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia tentu tidak dapat lepas dari peran serta prajurit (tentara/militer).

Mereka dengan gagah berani mengorbankan harta dan nyawa untuk kemuliaan bangsanya. Pascakemerdekaan pun, peran serta militer dalam membangun bangsa Indonesia terus berlanjut. Mereka banyak menduduki posisi penting dalam pemerintahan.Bahkan ketika pemilu 2009 lalu, beberapa purnawirawan Jenderal TNI tergerak hati untuk maju memperebutkan kursi RI 1 dan RI 2.

Namun, mengapa hingga kini bangsa Indonesia tidak kunjung maju dan sejahtera.Malah korupsi semakin menjadi, rakyat kecil semakin menderita, dan pejabat hidup dengan bergelimangan harta. Kegelisahan ini mendorong Soehario K Padmodiwirio, nama asli penulis buku Pemikiran Militer Sepanjang Masa Bangsa Indonesia. Hario Kecik,begitu nama revolusinya ingin mengungkap dan mengurai persoalan tersebut dengan melihat sejarah panjang pemikiran militer di Indonesia.

Karena dalam pandangannya didasarkan pada fakta yang ada menunjukkan bahwa masalah militer tidak pernah dapat dipisahkan dengan masalah militer dan diplomasi suatu negara. Salah satu kecemerlangan purnawirawan Jenderal Angkatan Darat ini terletak pada pemikirannya mengenai mengapa pascaperang gerilya yang dijalankan oleh Pangeran Sambernyowo, tidak lagi terjadi perlawanan terhadap VOC.

Padahal sebetulnya pada waktu itulah seharusnya bangsa kita mengangkat senjata melawan kekuatan Belanda yang berada dalam keadaan lemah itu. Tetapi mengapa tidak demikian? Sebabnya terutama harus dicari dalam masalah konsep pemikiran militer dari Pangeran Sambernyowo dan keterbatasan sejarah yang pada waktu itu yang objektif, seperti masalah tidak adanya komunikasi dengan dunia luar.

Selain itu kita tidak dapat mengharapkan dari seorang yang berjiwa feodal terbatas itu untuk berpikir secara futuristik. Ia hanya berpikir bagaimana mendapatkan gelar yang disandang almarhum ayahnya. Setelah mendapat kepastian dari Pakubuwono III bahwa ia akan mendapatkan gelar itu jika mau kembali ke Surakarta,ia menyerah dan meninggalkan semboyan “Tiji- Tibeh”,yang boleh dikatakan satusatu ikatannya dengan rakyat desa.

Kecuali itu, ia juga masih ingin memberi kehidupan di lingkungan keraton kepada istri dan anaknya. Dengan sendirinya ia tidak dapat berpikir untuk membuat “kader revolusioner generasi baru”. Pikirannya setelah mendapat tanah lenggahan dan mulai hidup dalam lingkungan yang tenang,jati dirinya mengalami evolusi yang dikuasai oleh yang bersifat ‘pelarian yang fiktif mengembara di dunia fantasi keagungan dan keluhuran kefeodalannya’.

Ia tertelan dalam kabut kefeodalan yang tidak cocok lagi dalam zaman selanjutnya. Karena itu,setelah dapat dimasukkan ‘kandang penjinakan’ oleh Belanda VOC, Mataram jatuh ke dalam suasana lethergis yang berlangsung kurang lebih 70 tahun dari tahun 1756 sampai timbulnya perang yang dinamakan Belanda Javaoorlog (Perang Jawa) pada tahun 1825 (halaman 67-68). Mungkin inilah yang menjadi kegelisahan Hario Kecik. Ia khawatir keadaan ini berulang.

Meminjam istilah Omar Kayam sebagaimana dikutip buku ini menyatakan “semua hal ikhwal yang terjadi di alam semesta termasuk di subatomik level materi yang terjadi sekarang adalah kelanjutan atau akibat dari suatu kejadian di waktu lampau”. Banyak pemimpin bangsa kita tidak mampu berbuat lebih untuk rakyat dan kemakmuran bangsa karena terbuai oleh kenikmatan sesaat.

Padahal kesempatan yang ia miliki tidak berulang dua kali. Cara pandang pemimpin bangsa, seperti ini hanya semakin menumbuhsuburkan perilaku korupsi dan kerusakan bangsa Indonesia. Semua dipandang hanya dari segi materi. Sumpah jabatan dan amanat penderitaan rakyat tidak lagi menjadi senjata atau semangat untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa. Buku ini mengurai dengan jelas dan detail mengenai sejarah panjang pemikiran militer di Indonesia.

Secara rinci mantan Komando Resimen Mahasiswa Fakultas Kedokteran/Dai Tai Co Gakuto Tai Ika Dai Gaku Jakarta ini berhasil memotret kecenderungan (gaya pemikiran militer) dengan gaya bahasa sederhana nan lugas. Semua diungkapkan tanpa tendensi, mengalir indah menelusuri relung zaman. Buku ini sangat bermanfaat bagi siapa saja yang ingin mengkaji lebih lanjut sejarah ke-Indonesiaan, terutama dalam kajian militer.

Tidak hanya dalam kajian militer saja, buku ini juga menilik lebih lanjut sejarah pemikiran politik bangsa Indonesia. Buku ini menawarkan sebuah pendekatan yang dapat dibilang baru dalam penelusuran sejarah. Yaitu, sebuah pengungkapan data dinarasikan secara objektif dengan penalaran yang komprehensif.

Selain itu, kelebihan buku ini terletak pada pengalaman penulis dalam bidang kemiliteran sekaligus pelaku sejarah.Karena itu,apa yang dituturkan begitu bermakna dan mempunyai spirit juang.Maka tidak aneh ketika Stanley Adi Prasetyo dalam pengantarnya menyatakan buku ini dengan gamblang merunut kembali pemikiran militer yang pernah ada di Republik beserta para tokohnya yang berpengaruh.(*)

Benni Setiawan,
Mahasiswa Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga,Yogyakarta.

1 komentar:

dat mengatakan...

sayang bukunya sulit didapat ya mas, saya nyari kemana mana gak dapat2. salam kenal

Posting Komentar