Search

Minggu, 18 Januari 2009

Mengenal Teologi Lingkungan


Seputar Indonesia, Minggu, 18 Januari 2009


Judul : Fiqih Ekologi, Menjaga Bumi Memahami Makna Kitab Suci
Penulis : Dr. H. M. Thalhah, SH., MH dan Achmad Mufid A.R
Penerbit : Total Media, Yogyakarta
Terbit : 2008
Tebal : 319 Halaman

BENCANA banjir dan tanah longsor selalu menyertai perjalanan bangsa ini.Namun, warga negeri ini tidak pernah mengambil pelajaran dari rentetan bencana tersebut.

Manusia Indonesia masih saja suka membabat hutan untuk kepentingan komersial. Bahkan, mereka rela “menggadaikan” kedaulatan bangsa dan negara dengan menjual kayu hasil rampasan di Kalimantan dan Sumatera, untuk memuaskan dahaga cukong di Malaysia dan Singapura.

Akibat keserakahan manusia tersebut,menurut data Kementerian Negara Lingkungan Hidup, tutupan hutan di Pulau Jawa tinggal 7%, Nusa Tenggara 25%,Sumatera 25%,Bali 27%,Kalimantan 44%, Sulawesi 64%, Maluku 73%,dan Papua 81%. Maka tidak aneh jika, berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), banjir dan tanah longsor mendominasi bencana tahun 2006–- 2007,khususnya di ulau Jawa.

Bencana itu terjadi di lebih dari 2.850 desa pada 61 kabupaten/ kota. Jumlah bencana itu meningkat jika dibandingkan dengan periode 2000– 2003,yakni pada 1.288 desa. Sementara menurut data Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam, sepanjang 2007 telah terjadi 379 bencana alam.

Sebanyak 67% di antaranya berupa banjir dan tanah longsor. Setidaknya 918 orang tewas dan tidak ditemukan dalam bencana tersebut serta 200.000 rumah penduduk rusak. Kerugian materiil sudah tidak terhitung lagi.

Jika diasumsikan, akibat longsoran tanah di jalan tol Cipularang Km 144,8, Bandung (13/1/ 2008),sepanjang lebih dari 30 meter, yang menyebabkan lumpuhnya arus lalu lintas dari Jakarta–-Bandung dan sebaliknya, selama kurang lebih enam jam saja, kerugian yang ditanggung Jasa Marga, sebesar Rp70 juta.

Bisa dibayangkan, berapa triliunan rupiah kerugian materiil akibat bencana banjir dan tanah longsor sepanjang empat tahun terakhir. Permasalahan ini sudah saatnya kita tanggulangi bersama. Salah satunya dengan membumikan konsepsi teologi lingkungan.

Buku FiqihTeologi ini menjelaskan secara panjang lebar konsep menjaga alam dengan perspektif Alquran. Alquran sebagai kitab suci umat Islam yang konon mayoritas di negeri ini,secara tersirat dan tersurat mengajarkan arti penting alam bagi kehidupan umat manusia. Manusia tidak dapat hidup tanpa alam.

Dan sebaliknya, alam juga tidak akan berguna tanpa manusia. Dalam kajian buku ini, Fiqih Ekologi difokuskan pada tiga pembahasan utama, yaitu interaksi sesama manusia, interaksi manusia dengan lingkungannya,dan interaksi manusia dengan alam sekitarnya (Bagian Delapan).

Kelebihan buku ini tidak hanya mendasarkan pada teks-teks Alquran, tetapi dengan penafsiran yang genuine tanpa menyalahi kaidahkaidah dalam memahami kitab suci umat Islam ini. Pesan teks Alquran di tangan Thalhah dan Acmah Mufid AR, menjadi lebih indah dan mempunyai makna.

Ia tidak lagi mati sebagaimana penafsiran- penafsiran kaku yang pernah dilakukan oleh pendahulunya (mufasir generasi awal dan abad pertengahan). Melalui buku ini, Rektor Universitas Bojonegoro (2003– 2007) dan pengasuh Pesantren Kemanusiaan “Min- Ka”Yogyakarta ini,mengajak pembaca untuk kembali merenung hakikat diri (manusia) dan alam dalam hubungannya dengan proses penciptaan alam.

Alam ini diciptakan tanpa sia-sia.Maka itu,keteraturan antara penghuni alam menjadi hal utama. Pembaca dapat langsung memahami buku ini pada bagian tujuh dan delapan,tanpa harus membaca bagian satu hingga enam. Namun jika pembaca ingin lebih mengetahui hubungan atau hakikat manusia dalam hubungannya dengan alam, sangat sayang melewatkan bagian satu hingga bagian enam.

Buku ini tampaknya ditujukan bagi kalangan tertentu saja. Artinya, buku ini lebih tepat dijadikan (baca: disebut) buku teks pelajaran atau buku referensi mata kuliah fikih lingkungan. Hal ini karena, pembahasan-pembahasan di dalamnya cenderung ilmiah murni.

Mungkin bagi, seseorang yang tidak suka membaca buku serius, buku ini sulit untuk dimengerti. Meski demikian, buku ini tampaknya layak dibaca masyarakat Indonesia yang masih peduli dengan kehidupannya. Kehidupan yang senantiasa dihantui kecemasan dan ketakutan akan datangnya bencana alam, berupa banjir dan tanah longsor, sebagai akibat ulah dan ketamakan manusia.

Dengan membaca buku ini, seseorang diharapkan mampu memahami eksistensi diri dan lingkungannya, sehingga manusia tidak semenamena terhadap alam semesta berdasarkan keyakinan dari kitab suci.(*)

Benni Setiawan,
Mahasiswa Program Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,
Yogyakarta

Senin, 12 Januari 2009

Selamatkan Masa Depan Anak Indonesia




Oleh Benni Setiawan*)

Surabaya Post, Senin, 12 Januari 2009

Malang nian nasib anak Indonesia. Selain mereka dieksploitasi dan diperdagangkan, generasi penerus bangsa ini seringkali juga menerima perlakuan kasar dari orangtuanya atau majikannya.

Menurut data Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Anak dan Komersialisasi Anak, setiap tahun sekitar 150 ribu anak menjadi korban eksploitasi seksual. Angka ini dua kali lebih besar dibanding 1998. Berdasarkan data Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak (UINCEF), saat ini angka kekerasan seks terhadap anak sekitar 70 ribu kasus per tahun.

Masih tingginya angka korban eksploitasi dan kekerasan terhadap anak menjadi ancaman nyata bagi eksistensi bangsa Indonesia. Artinya, bangsa ini akan kehilangan ratusan ribu anak sebagai calon pemimpin bangsa, penerus estafet kepemimpinan nasional, dan penerus keturunan bangsa Indonesia.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah faktor apa saja yang mempengaruhi masih banyaknya eksploitasi dan tindak kekerasan seks terhadap anak? Dan bagaimana mencegah agar anak tidak selalu dieksploitasi dan diperdagangkan untuk kepentingan “dunia gelap” seks (pelacuran)?

Faktor yang paling dominan dalam kasus ini adalah kemiskinan. Kemiskinan telah mendorong seseorang untuk melakukan apa saja, walaupun salah bahkan “dosa”. Orang miskin hanya berfikir, apa yang dapat dimakan hari ini. Kebutuhan perut bagi orang miskin adalah nomor satu. Ketika kebutuhan ini sudah terpenuhi, mereka tidak akan banyak menuntut. Mereka cenderung diam dan damailah hidup ini.

Namun, orang miskin masih saja dipermainkan di negeri ini. Mereka masih saja menjadi obyek penderita. Mereka “dipelihara” dan didekati menjelang pemilu. Setelah pemilu usai, mereka kembali ditelantarkan—kalau tidak mau disebut disia-siakan.

Lebih dari itu, orang miskin juga menjadi komoditas atau kepentingan politik pemerintah. Hal ini terbukti dengan data yang dikeluarkan pemerintah, yang menyatakan bahwa orang miskin selalu turun dari tahun ke tahun.

Data terbaru dari badan pusat statistik (BPS) menunjukkan, jumlah keluarga miskin Desember 2008 ini turun. Hingga Desember 2008, jumlah rumah tangga miskin tinggal 18,6 juta. Turun jika dibandingkan dengan data Maret 2008, yang mencapai 19,1 juta rumah tangga. Padahal fenomena yang terjadi di lapangan menunjukkan, lebih dari 20.000 buruh di-PHK akibat krisis keuangan global. Ketika kepala keluarga atau semakin banyak orang yang menganggur, berarti bertambahlah jumlah rumah tangga miskin di negeri ini. Dengan asumsi bahwa tanpa bekerja mereka tidak mendapatkan penghasilan.

Jumlah orang miskin yang selalu turun menjadi bukti “keberhasilan” pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya. Dan ini akan menjadi modal sosial guna mencalonkan diri di Pemilu 2009. Lagi-lagi orang miskin menjadi santapan empuk pihak-pihak yang tidak mempunyai integritas moral.



Budaya

Faktor selanjutnya adalah budaya. Walaupun tidak dominan, di dalam masyarakat masih tumbuh dengan subur apa yang dinamakan budaya malu miskin. Artinya, seseorang ingin menjadi orang kaya dengan cara cepat tanpa harus bekerja keras. Menjadi orang kaya akan menempatkan seseorang dalam strata sosial tertinggi. Orang kaya akan selalu dihormati dan dipercaya orang lain. Pendek kata, dengan kekayaan seseorang dapat memperoleh kedudukan yang tinggi di tengah masyarakat.

Budaya seperti ini perlu diselesaikan secara arif dan bijaksana. Budaya seperti ini tidak dapat diselesaikan secara cepat. Perlu tahapan-tahapan agar masyarakat tidak “sok” dalam menerima budaya baru. Salah satu cara mendidik masyarakat dan mengubah cara berfikir seperti ini adalah dengan pendidikan.

Pendidikan memainkan peran penting dalam membentuk karakter masyarakat. Hal ini dikarenakan, dalam pendidikan diajarkan cara berfikir logis dan sistematis. Cara berfikir inilah yang perlu disentuh dalam proses pendidikan, bukan hanya proses transfer of knowledge. Inilah tugas guru yang cukup berat.

Dengan mampu mengubah cara berfikir menjadi lebih logis dan sistematis, seseorang akan dengan sendirinya meninggalkan budaya yang “irasional” tersebut di atas. Pendidikan menjadi “budaya tandingan” bagi sistem hidup yang telah mendarah daging.

Lebih dari itu, pendidikan bagi anak-anak menjadi hal yang penting. Anak harus terus didorong untuk terus belajar, baik di dalam sekolah, pesantren atau dalam pendidikan-pendidikan informal. Ketika anak selalu bersemangat untuk belajar, maka kesempatan orangtua mempekerjakan mereka akan semakin berkurang.

Kemudian dari mana biaya pendidikan anak-anak Indonesia ini? Tentunya biaya pendidikan harus ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah, sebagai pemegang otoritas kenegaraan. Pemerintah yang telah menyetujui anggaran pendidikan 20 persen untuk pendidikan, dapat bekerja sama dengan pihak swasta atau pihak-pihak terkait untuk mengawasi penggunaan dananya, guna mengurangi kebocoran (korupsi).

Selain itu, pemerintah juga perlu membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya, agar masyarakat dapat bekerja dan tidak menjadi penganggur. Ketersediaan lapangan pekerjaan dengan gaji yang memadai akan mendorong seseorang giat dan tekun dalam bekerja.

Lebih lanjut, pemerintah baik pusat maupun daerah perlu memberikan perlindungan secara maksimal bagi anak-anak. Perhatian pemerintah ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Perlindungan terhadap anak dapat dilakukan dengan cara menutup tempat-tempat pelacuran yang diidentifikasi mempekerjakan anak. Menangkap cukong perdagangan anak dan menghukum mereka dengan seberat-beratnya merupakan tugas mulia. Hal ini dikarenakan, anak dapat diselamatkan dari mata rantai kejahatan dan negara terhindar dari stigma penyedia (penyuplai) anak-anak untuk kepentingan seks.

Jika hal-hal tersebut di atas tidak menjadi program pemerintah dalam jangka pendek maupun panjang, maka akan semakin banyak anak-anak orang miskin diperdagangkan dan dieksploitasi untuk kepentingan “dunia gelap”. Dan hal ini akan semakin mempercepat kehancuran bangsa dan negara Indonesia, karena generasi penerusnya tidak terdidik dan menjadi “tenaga kerja” untuk memuaskan nafsu hewaniyah. Wallahu a’lam.



*) Pemerhati Pendidikan, Penulis Buku Manifesto Pendidikan Indonesia (2006) dan Agenda Pendidikan Nasional (2008).

Jumat, 09 Januari 2009

Menakar Poros Tengah Jilid II



Koran Tempo, 09 Januari 2009

Benni Setiawan
Peneliti, mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Wacana poros tengah yang dicoba digulirkan kembali oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin mendapat tanggapan negatif dari berbagai kalangan. Pemerhati dan pengamat politik, misalnya, ragu terhadap efektivitas poros tengah untuk Pemilu 2009. Mereka beranggapan zaman telah berubah. Poros tengah di masa awal reformasi akan berbeda dengan zaman saat ini, ketika sistem pemilihan langsung menjadi pilihan. Namun, artikel ini ingin berusaha mendukung apa yang dikatakan oleh calon presiden yang didukung oleh Partai Matahari Bangsa (PMB) ini.

Wacana poros tengah memang sangat ideal saat ini. Namun, poros tengah sesuai dengan namanya harus merepresentasikan sebuah gagasan tandingan di antara dua kubu besar. Persoalannya adalah saat ini dua kubu besar sebagai simbol "status quo" tersebut belum muncul. Maka, tidak aneh jika banyak kalangan mencibir apa yang diungkapkan oleh Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, ini. Jika kita mengasumsikan bahwa dua simbol besar tersebut adalah SBY sebagai incumbent yang didukung oleh Partai Demokrat (PD), dan Megawati Soekarnoputri yang telah diusung secara resmi oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, mungkin gagasan poros tengah akan mendapat sambutan hangat.

Lebih dari itu, gagasan poros tengah menjadi alternatif jalan bagi pemimpin baru untuk melenggang ke Senayan. Poros tengah merupakan tradisi tandingan atas kemapanan rezim. Ancangan poros tengah juga akan mampu memecah kebuntuan proses demokratisasi yang memunculkan “empat L”, "Lu Lagi, Lu Lagi". Dengan adanya poros tengah, masyarakat akan dapat memilih "pemimpin lain" dan memunculkan wajah baru dalam pentas perpolitikan nasional. Ide poros tengah untuk memunculkan figur baru di tengah semakin mengerucutnya calon presiden dan calon wakil presiden merupakan gagasan yang perlu didukung dan diapresiasi.

Mengerucutnya figur calon presiden dan calon wakil presiden ini merupakan konsekuensi logis UU Pemilihan Presiden, yang disahkan DPR beberapa waktu lalu. Dalam undang-undang ini disyaratkan partai politik (parpol) atau gabungan parpol yang dapat mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden harus memenuhi 20 persen suara di parlemen (DPR) dan 25 persen suara pemilih nasional. Dengan aturan undang-undang yang ketat ini, diperkirakan hanya akan muncul maksimal tiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada Pemilu 2009. Jika memang sekarang sudah mengerucut pada dua tokoh sentral (SBY dan Mega), satu tokoh dari poros tengah masih berpeluang mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.

Gagasan poros tengah dengan cara koalisi partai-partai Islam memang berat. Namun, peluang untuk itu masih terbuka. Partai-partai berideologi Islam maupun berbasis massa muslim masih membuka peluang untuk ketemu dan melakukan koalisi sebagaimana pada 1999. Adanya gagasan calon presiden alternatif ala poros tengah juga sejalan dengan UU Pilpres. Menurut Yusril Ihza Mahendra, dalam seminar nasional di kampus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, beberapa waktu lalu, dalam UU Pilpres dinyatakan bahwa pengajuan calon presiden dan calon wakil presiden adalah sebelum pemilu legislatif 9 April 2008. Bukan menunggu hasil pemilu legislatif sebagaimana diopinikan oleh pemimpin parpol selama ini.

Jika pemahamannya demikian, gagasan mengajukan poros tengah melalui partai Islam dan partai berbasis massa Islam sangat tepat. Hal ini karena pendulum demokrasi untuk pemilihan calon presiden dan calon wakil presiden 2009 masih mengarah pada SBY dan Mega, sebagai dua kekuatan besar. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah siapa gerangan calon alternatif yang mampu bersaing dengan SBY dan Mega?

Dalam analisis Sukardi Rinakit, mantan Direktur Soegeng Sarjadi Syndicate, Jakarta, hanya ada empat nama besar calon presiden yang mampu membetot perhatian masyarakat pada Pemilu 2009. Mereka adalah SBY, Mega, Wiranto, dan Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Jika proyeksi tim sukses Sultan ini benar, calon alternatif yang dapat diusung oleh poros tengah adalah Sultan. Mengapa Sultan? Sultan memiliki track record yang cukup baik dalam memimpin Yogyakarta. Sultan merupakan tokoh yang belum pernah mencalonkan diri sebagai calon presiden pada Pemilu 2009. Hal ini tentunya berbeda dengan Wiranto, yang pernah maju melalui Partai Golkar namun belum beruntung.

Sultan juga sudah didukung secara resmi oleh Partai Republika Nusantara (RepublikaN), dan konon juga mulai dilirik oleh tujuh partai kecil lainnya. Namun, apakah Sultan dapat diterima di kalangan parpol berideologi Islam, mengingat Sultan adalah pemegang tradisi kejawen, sebagai representasi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat? Masalah ini tentunya dapat dikompromikan secara baik (intern dan ekstern) di parpol poros tengah. Toh, dahulu, pencalonan Gus Dur sebagai calon presiden poros tengah juga mengalami perdebatan yang cukup alot. Namun, pada akhirnya Gus Dur terpilih menjadi presiden keempat RI.

Pandangan negatif mengenai poros tengah oleh beberapa kalangan, menurut hemat penulis, merupakan "ketakutan" akan munculnya calon alternatif yang mampu mengungguli SBY dan Mega. Gagasan poros tengah merupakan sebuah tesis, antitesis, sekaligus sintesis dari sistem demokrasi masyarakat Indonesia. Calon alternatif dan cenderung baru biasanya mampu menyihir perhatian masyarakat, yang pada gilirannya mereka akan memilihnya dengan sadar dan rasional. Pendek kata, orang baru merupakan ancaman nyata bagi orang lama (status quo).

Gagasan poros tengah yang kembali dimunculkan oleh Din Syamsuddin, walaupun dalam kapasitasnya sebagai pemimpin organisasi massa Islam bukan parpol, merupakan wacana yang perlu ditanggapi secara dingin, arif, dan bijaksana. Kembalinya poros tengah ke pentas politik nasional seakan membawa angin segar akan munculnya calon presiden alternatif, sebagai bagian pendewasaan sistem demokratisasi yang sedang berkembang di Indonesia.

Pada akhirnya, gagasan poros tengah tidak perlu terus dicibir. Hal ini karena, semakin sering dikritik dan "dianiaya" sebuah pemikiran, akan mampu membawa proses kesadaran kolektif bahwa poros tengah merupakan solusi suksesi kepemimpinan nasional 2009.

Kamis, 08 Januari 2009

Potret buram Departemen Agama




Harian Jogja, 07 Januari 2009

Sudah saatnya Departemen Agama (Depag) dibubarkan. Begitu kata Gus Dur sekian tahun lalu. Gus Dur menengarai banyak hal yang tidak beras di Departemen yang kini dipimpin oleh M Maftuh Basyuni ini. Seperti, buruknya pelayanan atau penyelenggaraan ibadah haji dan suburnya korupsi.

Buruknya layanan ibadah haji dalam bentuk katering makanan yang sering terlambat datang, bahkan tahun 2007, jamaah haji Indonesia kelaparan akibat katering yang tidak profesional, layanan pesawat yang kurang memuaskan, hingga jauhnya tempat pemondokan (maktab) dari Masjidil Haram, menjadi hal yang selalu terulang. Ibadah haji sebagai cerminan profesionalisme Depag, sepertinya malah semakin memperparah rapuhnya bangunan itu.

Maka, tidak aneh jika banyak kalangan menyarankan agar pelaksana atau penyelenggara ibadah haji diserahkan sepenuhnya kepada swasta. Pemerintah dalam hal ini Depag, tidak perlu lagi turut campur dalam masalah ini. Namun, usulan ini ditolak oleh Depag. Maklum, ibadah haji merupakan proyek tahunan yang menghasilkan banyak uang.

Tidak beresnya penyelenggaraan ibadah haji, mencapai puncaknya pada tahun ini. Ketidakberesan ini mengusik Depag, melalui Menteri Agama, memohon maaf, atas ketidaknyamanan dalam pelaksanaan ibadah haji tahun 2008. Walaupun hanya klise, semoga kejadian ini tidak berulang di tahun depan.
Selain buruknya sistem pelayanan ibadah haji, ditengarai departemen ini menjadi gudangnya koruptor. Baru-baru ini Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan penerimaan uang oleh Menteri Agama M. Maftuh Basyuni yang bersumber dari biaya penyelenggaraan ibadah haji dan dana abadi umat (DAU) kepada komisi pemberantasan korupsi (KPK).

Menurut Ade Irawan, Koordinator Devisi Monitoring ICW, ada tiga jenis penerimaan oleh M. Maftuh Basyuni, yang dipersoalkan lembaganya. Pertama, tunjangan fungsional bulanan sebesar Rp10 juta. Menurut data Maftuh menerima uang tersebut pada bulan Maret dan April 2005.
Kedua, tunjangan hari Idul Fitri 2004 sebesar Rp25 juta. Ketiga, terkait dengan biaya taktis perjalanan dinas Menteri Maftuh Basyuni ke Arab Saudi pada 10 Mei 2005 sebesar US$5.000. Perjalanan dinas Maftuh ke Mesir, pada 11 November 2004 guna melayat Presiden Palestina Yasser Arafat. Dana yang digunakan sebesar US$7.500. Uang serupa juga dikeluarkan pada 5 April 2005 sebanyak US$5.000 untuk biaya perjalanan menteri ke Vatikan (Koran Tempo, 27/12/2008).

Kasus korupsi DAU yang kembali mencuat ini semakin menguatkan asumsi bahwa dana tersebut dijadikan 'bancakan' oleh elit di Depag. Sebagaimana kita ketahui bersama, mantan Menteri Agama, Said Agil al Munawar dihukum 10 tahun penjara karena menyalahi prosedur—kalau tidak mau disebut korupsi—DAU.

Suburnya lahan korupsi di Depag paradoks dengan namanya. Artinya, sebagai departemen yang mengurusi masalah agama dan keagamaan, sudah seharusnya institusi ini memberi tauladan dan menjadi garda depan dalam pemberantasan korupsi. Hal ini karena, seseorang yang beriman dan mengaku beragama, malu jika korupsi. Korupsi merupakan perbuatan keji yang dibenci Tuhan, karena ia telah dengan sengaja membunuh orang lain. Dana yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat dikorup untuk kepentingan diri sendiri dan golongan. Yang pada gilirannya banyak orang mati karena gizi buruk dan kemiskinan yang menghimpit.

Korupsi yang dilakukan oleh Depag, juga semakin menguatkan asumsi bahwa seorang yang hafal al-Qur’an, dhobit (kuat hafalan) Hadis, dan paham ilmu-ilmu agama tidak dapat lepas dari jerat korupsi. Hal itu disebabkan, mereka hanya tahu ilmu-ilmu agama ansich tanpa mau belajar ilmu sosiologi, arkeologi, sejarah, dan lain sebagainya. Sebagai pendukung dan penguat basis ilmu agamanya.

Selain itu, mentalitas manusia dan sistem yang ada mendukung untuk melakukan tindak pidana korupsi. Maka dari itu, sudah saatnya ada rekonstruksi moralitas pejabat negara agar mereka tidak mudah korupsi.

Korupsi berjamaah di Depag sudah saatnya diakhiri. Pejabat di Depag yang terbukti korupsi harus dihukum dan dikucilkan dari pergaulan masyarakat. Kalau hanya dihukum, mereka mungkin masih bisa berkelit dari jeratan hukum. Namun, jika masyarakat sepakat untuk mengucilkannya, maka inilah hukuman yang pantas untuk pengemplang uang rakyat.

Lebih dari itu, jika Depag belum mampu membersihkan aparatnya dari korupsi, alangkah baiknya ide membubarkan Depag, yang pernah diwacanakan oleh Abdurrahman Wahid, dimunculkan kembali. Hal ini karena, Depag yang koruptif akan semakin mengerdilkan peran dan fungsi agama di tengah masyarakat. Wallahu a’lam.


Oleh Benni Setiawan
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Jogja.

Minggu, 04 Januari 2009

APBD Tak Hanya Urusan Perut



Harian Joglosemar, Sabtu, 03-01-2009

oleh Benni Setiawan

Di tengah krisis finansial global, gelombang PHK massal, kelangkaan minyak tanah dan gal elpiji, muncul kabar yang cukup mengusik nurani sebagai warga bangsa. Seperti diberitakan Harian Joglosemar (19/12/08), anggaran uang makan Bupati dan Wakil Bupati Sukoharjo mencapai Rp 1,2 miliar. Sangat ironis, mengingat besaran anggaran yang tidak dapat diterima oleh akal sehat ini hanya digunakan untuk makan. Sebuah kerja produksi yang mencerminkan kerakusan seseorang.
Banyak proyek berbasis kerakyatan terancam tak dapat terlaksana akibat mepetnya keuangan daerah. Hal ini dapat dilihat dalam rancangan kebijakan umum (KUA) RAPBD 2009. Estimasi pendapatan daerah Rp 688.761.482.000, lebih banyak tersedot untuk belanja pegawai yang mencapai Rp 465.928.945.000. Praktis hanya menyisakan dana Rp 200,6 miliar.
Naiknya belanja pegawai yang mencapai 25 persen tersebut membuat anggaran untuk pendidikan gratis juga terpotong. Anggaran untuk pendidikan gratis terpotong Rp 23 miliar. Jika pada tahun 2008 program pendidikan gratis dianggarkan Rp 29 miliar namun, dalam RABPD 2009 hanya Rp 6 miliar.
Lebih dari itu, besarnya anggaran makan Bupati dan Wabup Sukoharjo tersebut paradoks dengan kondisi kabupaten yang terletak di sebelah selatan kota Solo ini. Menurut data dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), jumlah penduduk miskin di kabupaten ini terus meningkat. Jika, pada tahun 2006 sebanyak 69.944 KK meningkat 15 persen menjadi 80.170 Kepala Keluarga (KK) pada tahun 2007. Meningkat dari 239.882 jiwa pada 2006 menjadi 260.356 jiwa pada 2007 atau naik delapan persen. Jika dihitung total penduduk di Kabupaten Sukoharjo sebanyak 840.477 jiwa maka hampir 30 persen penduduk Sukoharjo termasuk kategori miskin (Joglosemar, 13/2/08).
Pada November 2008, Badan Pusat Statistik (BPS) Sukoharjo, juga telah mencoret 20.000 warga miskin. Mereka yang dicoret tidak akan mendapat lagi program pengendalian sosial, seperti, bantuan langsung tunai (BLT), Raskin, bantuan dana BOS, dan Askeskin. Padahal tahun ini ditemukan 23 balita di Sukoharjo yang mengalami gizi buruk. Angka ini meningkat hampir 90 persen jika dibandingkan tahun lalu yang hanya 15 balita (Joglosemar, 11/3/08).
Jumlah orang miskin di Kabupaten Sukoharjo sepertinya linier dengan jumlah penganggur. Menurut data dinas tenaga kerja dan transmigrasi (Disnakertrans), setidaknya sekitar 30.000 warga Sukoharjo menganggur (Joglosemar, 17/7/08). Jumlah ini belum termasuk penganggur baru karena di-PHK dari beberapa pabrik tekstil di Sukoharjo akibat krisis keuangan global.
Data tersebut di atas menunjukkan bahwa warga Sukoharjo belum makmur sebagaimana jargon kabupaten yang kini dipimpin oleh Bambang Riyanto-Muhammad Thoha ini. Masih banyak warga miskin dan kurang mampu lainnya hidup menderita di tengah semakin cepatnya laju perkembangan zaman.
Kemiskinan dan pengangguran ini sudah saatnya diselesaikan oleh Bupati dan Wabup yang kini menjabat untuk kedua kalinya. Anggaran makan 1,2 miliar, alangkah lebih baik untuk mengatasi persoalan sosial tersebut.
Merupakan sebuah ketidakpekaan kalau tidak mau disebut pengkhianatan terhadap orang miskin jika banyak warga yang tidak bisa makan tiga kali dalam sehari di tengah pola hidup dan gaya hidup pemimpin yang glamor dan berlebihan.
Hamba Makanan
Seorang pemimpin yang bijak sudah seyogianya mendahulukan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi dan golongan. Hal ini karena, pemimpin merupakan panutan masyarakat. Darinyalah masyarakat belajar. Tingkah laku keseharian menjadi patokan dalam kehidupan bermasyarakat.
Jika seorang pemimpin tidak mampu memosisikan diri dengan baik dan benar, maka ia telah kehilangan arah (keblinger). Keblingernya pemimpin dalam komunitas masyarakat, akan dapat mendatangkan sebuah bencana. Baik bencana alam ataupun karena faktor lain.
Seorang pemimpin yang lebih mementingkan urusan perut sendiri di tengah kelaparan masyarakat bak Fir’aun yang mengaku dirinya Tuhan. Fir’aun memerintah Mesir kala itu dengan mewajibkan rakyat untuk menyembah dirinya. Karena dialah yang berkuasa dan dapat menentukan hidup mati seseorang.
Demikian pula, pemimpin modern yang lebih membesarkan anggaran untuk makan, akan menjadi hamba makanan (abdul buthun). Hamba makanan lebih berbahaya di era sekarang dibandingkan mengaku Tuhan di era Fir’aun. Hal ini karena, seorang hamba makanan mempunyai falsafah hidup “besok siapa yang dimakan”. Mereka akan menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan perutnya. Mereka belum puas jika perutnya belum penuh hingga sesak.
Menjadi hamba makanan telah merenggut ratusan bahkan ribuan nyawa manusia mati secara perlahan-lahan. Dan inilah penuhanan di era postmodernisme. Seorang pemimpin tidak lagi mengaku sebagai Tuhan, namun dalam kesehariannya mereka, melakukan aktivitas di luar kemahakuasaan Tuhan. Mereka tidak memiliki sifat pengasih dan penyayang, sebagaimana sifat Tuhan. Tuhan di era ini lebih bengis daripada Tuhan yang sebenarnya.
Maka, sudah saatnya pemimpin di Kabupaten Sukoharjo sadar mengenai hal ini. Anggaran makan per bulan Rp 100 juta merupakan bentuk penuhanan gaya baru. Terlalu menyakitkan bagi orang miskin yang hanya mampu makan dari beras Raskin, dengan lauk pauk seadanya.
Masih banyak warga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi anak-anaknya akibat kemiskinan. Padahal sebagaimana kita ketahui bersama, anak-anak merupakan generasi penerus keberlangsungan hidup bangsa. Tanpa mereka, kita tidak akan dikenang. Dan tanpa mereka, punahlah proses kesejarahan Kabupaten Sukoharjo. Meninggalkan generasi yang lemah juga akan semakin mempercepat proses kepunahan itu.
Maka, alangkah baiknya jika anggaran tersebut dialokasikan untuk membantu warga miskin agar anak-anaknya terpenuhi kebutuhan gizinya. Dengan terpenuhinya nutrisi dan kebutuhan anak-anak Sukoharjo, maka estafet kepemimpinan akan terus berjalan dengan baik. Dan pemerintahan sekarang telah mewariskan generasi muda tangguh yang siap menjadikan Kabupaten Sukoharjo menjadi lebih baik. Namun, jika pemimpin sekarang masih mementingkan kepentingan perutnya sendiri dan mengebiri hak-hak orang lain, maka jangan salahkan jika di masa yang akan datang pemimpin Sukoharjo tidak mampu mengembang amanat rakyat dengan baik. Wallahu a’lam.

Penulis adalah
peneliti Lentera Institute

Fatwa Haram bagi Golput



Jurnal Nasional, Sabtu, 3 Januari 2009

Oleh Benni Setiawan*)

Fatwa haram yang dikeluarkan oleh Bahtsul Masail PW NU Jawa Timur mengenai golongan putih (golput) mendapat perhatian di tingkat pusat. Setidaknya hal itu tercermin dari pernyataan Hidayat Nur Wahid, Ketua MPR RI, yang meminta MUI untuk mengeluarkan fatwa haram bagi golput. Namun, ada juga pihak yang tidak sepakat dengan adanya fatwa haram. Hal ini dikarenakan, urusan memilih dan tidak memilih merupakan hak individu dan bukan wilayah atau wewenang agama untuk menghukuminya.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah benar golput bukan wilayah agama, dan tidak boleh diselesaikan dengan pendekatan agama?

Tren golput

Tren golput di Indonesia bukanlah hal yang baru. Golput sudah ada sejak pemilu 1955. Angka golput ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Jika pada pemilu 1999, jumlah golput hanya 10,4 persen, pada pemilu 2004 meningkat menjadi 23,34 persen. Dan jumlah ini akan terus meningkat pada pemilu 2009. Bahkan, jumlah golput menurut sebuah lembaga survei pada 2009 bisa mencapai 40 persen. Hal ini didasarkan pada tingginya angka golput pada pilkada di beberapa daerah.

Dalam Pilgub DKI Jakarta dengan 5,7 juta pemilih misalnya, jumlah golput sebesar 2 juta (34,5 persen). Di Jawa Barat dengan 27,9 juta pemilih, jumlah golput sebesar 9,1 juta (32,6 persen). Di Jawa Tengah, dengan 25,8 juta pemilih, jumlah golput sebesar 11,6 juta (45 persen). Bahkan pada pilkada putaran kedua di Jawa Timur, dengan 29 juta pemilih, jumlah golput mencapai 13,9 juta (48 persen).

Meningkatnya tren golput tentunya merugikan keuangan negara. Jika, pada 2009 nanti jumlah golputnya 30 persen saja, dari 120 juta pemilih, maka negara akan dirugikan sebanyak Rp417.600.000.000,- atau hampir setengah triliun, jika dihitung berdasarkan indeks rata-rata per pemilih Rp11.600,-.

Jika uang sebanyak itu untuk membangun infrastuktur masyarakat akibat bencana alam di berbagai daerah di Indonesia, setidaknya dua propinsi dapat pulih kembali dan masyarakat akan dapat tersenyum dengan riang.

Inilah yang mungkin mendasari Kiai di Jawa Timur dan mantan Presiden PKS meminta MUI mengeluarkan fatwa haram bagi golput. Dalam pandangan penulis fatwa haram bagi golput perlu untuk dikeluarkan di tengah semakin masifnya gerakan golput yang disuarakan oleh mantan ketua PB NU Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Sadudara'i

Fatwa haram bagi golput adalah tindakan mencegah keburukan-kalau tidak mau disebut kemungkaran--dengan hal yang baik. Dalam bahasa ushul fiqh, mengeluarkan fatwa haram bagi golput sebagai sadudara'i. Dengan demikian, menguarkan fatwa haram bagi golput untuk mencegah pemborosan negara.

Dalam konsepsi sadudara'i, ada istilah syarat dan rukun. Ambil contoh, dalam rukun haji ada sa'i, wukuf, tawaf dan seterusnya. Syaratnya untuk dapat melakukan itu semua harus sehat. Jika syarat tidak terpenuhi akan menggurkan rukun tersebut. Hal ini sebagaimana dalam ajaran kitab-kitab fiqh.

Dalam konteks fatwa haram bagi golput, memilih merupakan syarat, dan rukun yang hendak dicapai adalah mencari pemimpin masa depan yang mampu mengemban amanat dengan baik. Jika syarat (memilih) tidak dilakukan maka gugurlah rukun mendapatkan sosok pemimpin ideal.

Lebih dari itu, jika dihadapkan pada persoalan bahwa perilaku golput merupakan bentuk "protes" terhadap kinerja pemerintah dan wakil rakyat yang korup, maka fatwa haram bagi golput dapat mencegah hal demikian. Artinya, dengan adanya fatwa, masyarakat akan terdorong untuk memilih calon terbaiknya yang akan mampu bekerja maksimal untuk kepentingan rakyat. Rakyat juga dapat menghukum pemimpin korup yang selama ini menyengsarakan hidupnya dan merusak tatanan bangsa dan negara. Apa jadinya, jika banyak masyarakat yang golput dan pemilu menghasilkan empat L (lu lagi lu lagi) yang telah "terbukti" korup.

Fiqh (proses pemahaman) yang seperti inilah yang perlu kita dorong dalam kehidupan sekarang, tanpa harus meninggalkan fiqh klasik. Hal ini dikarenakan, tantangan kehidupan sekarang lebih kompleks dibandingkan ketika ulama menelorkan gagasan-gagasannya.

Lebih lanjut, fatwa haram bagi golput bukan merupakan sesuatu yang angker (mengikat). Artinya, fatwa meminjam istilah Muhammad Khalid Masud, Brinkley Messick, David S. Powers, Islamic Legal Intrepretation, Muftis and Their Fatwas, (Ed: 1996), merupakan pendapat. Pendapat dapat diterima atau ditolak. Bagi yang menerima akan mendapatkan balasan dari kebaikan yang dia perbuat. Bagi yang menolak tidak berdosa atau mendapatkan keburukan dari apa yang ia perbuat. Jadi fatwa hanyalah seruan bagi masyarakat. Fatwa tidak mengikat, karena sifatnya hanyalah pendapat dari ulama.

Maka, ketakutan seseorang jika ada fatwa dia akan terkungkung oleh problem dosa (neraka), tidaklah beralasan. Masalah dosa, itu urusan Tuhan Yang Maha Mengadili.

Lebih dari itu, pernyataan bahwa urusan memilih adalah urusan individu dan bukan urusan agama juga perlu dikaji lebih lanjut. Agama merupakan seperangkat aturan dalam mengatur sistem hidup manusia agar dapat tertib, teratur, tentram, menuju keselamatan dan kesejahteraan.

Falsifiable dan Nonfalsifiable

Meminjam istilah M. Amin Abdullah, dalam pendekatan pengkajian agama (Islam), ada dua hal utama. Pertama, nonfalsifiable dan kedua, falsifiable. Nonfalsifiable merupakan bentuk keimanan atau kepercayaan bahwa agama yang ia anut adalah benar. Dan semua agama dan pemeluknya mengakui dan memiliki hal tersebut.

Sedangkan falsifiable dapat berupa, teks, ritual keagamaan, lembaga, pemimpin, dan sebagainya. Kajian politik, masuk dalam wilayah falsifiable. Wilayah ini boleh didiskusikan dan selalu berubah sesuai konteks zaman. Artinya, wilayah ini bukanlah hal yang tabu untuk diperdebatkan. Lebih dari itu, pemahaman mengenai wilayah falsifiable, dipengaruhi oleh pengalaman pribadi seseorang.

Dengan demikian, fatwa haram bagi golput bukanlah persoalan bentuk intervensi "agama" (kaum agamawan) dalam urusan politik. Kemudian mengapa harus MUI yang mengeluarkan fatwa tersebut? Hal ini dikarenakan, MUI mempunyai "otoritas" untuk itu, sebagai representasi dari ormas Islam yang ada di Indonesia.

Peran serta ulama--dalam hal ini MUI-saat ini tidak hanya dalam labelisasi halal dan haram untuk makanan atau minuman. MUI sudah saatnya keluar dari kungkungan yang dapat mengerdilkan peran sertanya dalam proses berbangsa dan negara (nation-state).

Fatwa haram bagi golput sudah saatnya diagendakan dan syukur dapat membuahkan sebuah hasil. Fatwa haram bagi golput akan mampu mendorong masyarakat untuk kritis dan rasional dalam memilih. Lebih dari itu, fatwa haram bagi golput akan menyelamatkan keuangan negara. Hal ini dikarenakan, biaya untuk pemilu sangatlah besar dan amat merugi jika hanya terbuang sia-sia karena banyak masyarakat yang menjadi golput. Wallahu a'lam.

Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.