Search

Jumat, 19 Februari 2010

Pentingnya Pendidikan Berbasis Hak Asasi Manusia

01 Feb 2010, Media Indonesia, Pendidikan

Oleh Benni Setiawan
Penulis Buku Agenda Pendidikan Nasional tinggal di Yogyakarta
ISU hak asasi manusia (HAM) di Indonesia mulai mendapat tanggapan yang beragam dari masyarakat pascajatuhnya HM Soeharto dari kursi kepresidenan. Perbincangan mengenai HAM sering kali dikaitkan dengan rezim Orde Baru yang otoriter. Kasus-kasus yang dahulu menjadi agenda keberhasilan dalam menumpas gerakan separatis berubah menjadi persoalan serius di tengah masyarakat. Artinya, setiap penumpasan gerakan separatis selalu menyisakan persoalan pembunuhan, pembantaian, dan seterusnya yang sangat erat hubungannya dengan isu-isu HAM.



Ambil contoh, kasus Tanjung Priok, Tragedi-Lampung, Malapetaka Januari (Malari) 15 Januari 1974, penembakan aktivis di Trisakti dan Semanggi 1998, dan akhir-akhir ini pembunuhan aktivis HAM Munir. Ketika kasus-kasus tersebut diproses secara hukum, banyak kalangan yang "berpendapat bahwa sidang itu hanya formalitas. Aktor intelektual di balik aksi-aksi tersebut tetap dapat bernapas lega. Sebaliknya, eksekutor aksi meringkuk di balik jeruji besi.

Tulisan ini tidak akan membahas panjang lebar hal tersebut, tetapi hanya akan mengulas sedikit tentang pentingnya pendidikan berbasis HAM bagi bangsa Indonesia. Kebutuhan terhadap hal itu adalah mendesak mengingat implikasi pelanggaran HAM akan merambah ke segala aspek kehidupan sosial, politik, hukum, hingga ekonomi sebuah bangsa.

HAM menurut Frans Magnis Suseno (1987) adalah kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki oleh manusia, bukan diberikan kepadanya oleh masyarakat, bukan berdasarkan hukum positif (hukum-hukum yang berlaku), melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Manusia memiliki HAM karena ia adalah manusia. Pengertian di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa dengan HAM, manusia dapat disebut dengan manusia. Sebaliknya, jika HAM telah hilang dan dikangkangi kepentingan orang atau sekelompok orang yang Iain, kemanusiaan manusia telah hilang.

Dalam konteks itu, pendidikan mengenai HAM sudah selayaknya diberikan kepada masyarakat. Artinya, masyarakat harus disadarkan bahwa ia mempunyai HAM sebagai bekal mereka hidup sejak dini. Dengan demikian, ketika hak-haknya direnggut dan bahkan diabaikan

oleh orang lain, ia dapat membela diri. Secara lebih spesifik, pendidikan berbasis HAM diharapkan akan membawa kesadaran baru di masyarakat tentang pentingnya menghargai setiap individu berdasarkan hak asasi bawaan masing-masing.

Pendidikan berbasis HAM Salah satu lembaga yang mempunyai kewenangan mengajarkan HAM kepada masyarakat adalah pendidikan. Pendidikan tidak hanya berarti sekolah, pesantren, perguruan tinggi, dan seterusnya. Pendidikan juga berbentuk lembaga seperti keluarga, masyarakat itu sendiri, dan pemerintah.

Pengenalan HAM semestinya telah ditanamkan sejak di dalam keluarga. Artinya, keluarga mempunyai kewenangan (baca tanggung jawab) lebih untuk menanamkan HAM pada diri anak. Anak (manusia) mempunyai hak untuk hidup. Artinya, ia adalah insan merdeka yang oleh karena itu, anak tidak boleh disakiti dan siksa. Kekerasan terhadap anak yang baru-baru ini kembali merebak merupakan salah satu bukti belum sadar-nya keluarga akan arti penting HAM. Anak juga mempunyai hak untuk berekspresi. Artinya, pengambilan keputusan yang dilakukan dalam keluarga seyogianya memedulikan dan menghormati pendapat anak.

Ambil contoh, dalam menentukan sekolah. Orang tua tidak boleh memaksakan kehendaknya untuk menentukan sekolah anaknya. Orang tua setidaknya memberikan beberapa alternatif sekolah untuk dipilih anaknya. Hal itu tentunya didasarkan oleh pertimbangan baik, buruk, atau manfaat bagi calon peserta didik. Anak diberi keluasan dan kebebasan untuk memilih calon sekolahnya. Dengan demikian, ia akan merasa nyaman dengan pilihan yang telah diputuskannya.

Sekolah sebagai lembaga kedua pembentukan karakteristik anak dan pengembangan potensi merupakan kelanjutan pengenalan HAM yang pertama. Ketika keluarga mendasarkan pendidikan HAM pada pola atau tingkah laku secara langsung, sekolah mengajarkan HAM pada taraf teori aplikatif. Artinya, tidak hanya teori-teori perkembangan, pengertian HAM, tetapi didukung oleh data atau contoh-contoh pelanggaran HAM.

Seorang guru setidaknya juga mempunyai kewajiban untuk mengembangkan atau menunjukkan iktikad yang baik untuk mendidik berbasis HAM. Misalnya, guru harus menjadi orang tua yang baik bagi peserta didik. Guru harus mau menerima kritik atau sanggahan dari peserta didik. Hal itu didasarkan pada beragamnya bacaan atau pengalaman peserta didik. Dalam pendekatan mengajar, sesekali guru patut mencoba metode andragogi dengan siswa diperlakukan sebagai orang dewasa agar mereka dapat lebih mudah memahami hak-hak orang lain.

Jika seorang guru hanya mampu membaca tiga teks buku dalam satu mata pelajaran, 40 siswa dalam sebuah kelas, misalnya, tentunya mempunyai bacaan beragam. Kemampuan untuk mencerna sebuah buku pelajaran pun akan sangat berbeda satu peserta didik dengan peserta didik lainnya. Hal itu mengakibatkan semakin beragamnya pendapat dan gagasan yang dilontarkan oleh peserta didik.

Dengan demikian, guru harus menempatkan dirinya sebagai seorang yang menimba ilmu dari muridnya. Keadaan demikian akan menjadikan suasana kelas yang menyenangkan. Guru dan murid saling belajar. Tidak ada yang pandai dan bodoh di antara mereka. Yang ada hanyalah saling tukar pengalaman dan pandangan. Pendekatan andragogi dalam memperkenalkan

pendidikan berbasis HAM adalah keniscayaan. Dengan pendekatan ini baik guru maupun siswa dapat menjadi anutan untuk tiap kasus pelanggaran HAM yang dapat dielaborasi serta diinte-grasi ke dalam tiap mata ajar yang diampu oleh guru. Karena itu, tidak ada salahnya jika sekolah mencoba melakukan uji coba pendidikan berbasis HAM di sekolah masing-masing.

Selanjutnya adalah pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat juga mempunyai kewajiban untuk mendidik. Artinya, ia adalah bagian yang tak terpisahkan dari mata rantai pendidikan. Anak belajar dengan orang tua, sekolah, dan akhirnya kembali kepada masyarakat.

Gara masyarakat mendidik adalah dengan sikap. Misalnya, dalam sebuah masyarakat ada larangan untuk merokok atau anak kecil dilarang merokok. Masyarakat pun juga tidak diperkenankan untuk merokok di depan anak kecil.

Demikian pula di tempat-tempat umum. Seorang perokok harus menghormati hak orang lain yang tidak merokok. Maka, tepat apa yang telah diusahakan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, Pemkot Surabaya, Pemprov Jawa Timur, dan Pemprov DI Yogyakarta. Adanya peraturan larangan merokok di tempat umum adalah bukti adanya kesadaran masyarakat untuk menghormati hak seseorang untuk sehat dan menghirup udara segar.

Terakhir adalah peran serta pemerintah. Sebagaimana telah diungkapkan, pemerintah mempunyai tanggung jawab menjaga (baca menegakkan HAM). Kementerian Pendidikan Nasional, dalam hal ini, sudah seyogianya merumuskan pendidikan berbasis HAM untuk diajarkan di sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan lain. Sebagai bekal pengenalan HAM secara teoretis sejak dini.

Selain Kemendiknas, lembaga-lembaga lain juga harus menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat. Penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM yang tak kunjung usai adalah tanda kurang adanya iktikad baik dari pemerintah untuk mengajarkan atau mendidik bangsa berbasis HAM. Karena itu, kebijakan untuk menempatkan pola dan pendekatan pendidikan berbasis HAM di sekolah akan merupakan salah satu keputusan strategis yang perlu direalisasikan.

Pendidikan berbasis HAM pada dasarnya adalah usaha nyata semua pihak guna mewujudkan kehidupan yang seimbang (baca harmonis) antara hak dan kewajiban. Hal itu disebabkan ketimpangan antara hak dan kewajiban akan berakibatkan terjadinya disintegrasi bangsa, yang implikasinya sangat tidak baik bagi proses kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar