Search

Jumat, 19 Februari 2010

Menanti Kiprah Kaum Agamawan

Pikiran Rakyat, Jum'at 19 Februari 2010
Oleh Benni Setiawan

Banjir dan tanah longsor kembali menghiasi halaman depan media massa, baik cetak maupun elektronik. Banjir dan tanah longsor kali ini juga menyisakan kesedihan bagi korban. Harta benda dan nyawa menjadi taruhan atas peristiwa tahunan ini. Mengapa banjir dan tanah longsor selalu terjadi dan bahkan menjadi agenda wajib tahunan?



Banjir dan tanah longsor yang terjadi di sejumlah wilayah di Jawa Barat seperti Bandung dan Sukabumi, tentunya tidak dapat dipisahkan dari perilaku negatif (kalau tidak mau disebut menyimpang) manusia. Manusia sebagai makhluk berakal dan mempunyai nafsu senantiasa merusak alam. Padahal seharusnya manusia sebagai pemimpin di muka bumi (khalifatul fil ardhi) yang dibekali Tuhan dengan akal, dapat menjaga harmoni antara alam dan Tuhannya.

Menurut David Bryce-Smith dalam Kenneth Aman (ed, 1988), antara sifat dasar dunia Tuhan dan manusia harus ada hubungan yang harmonis. Smith menganalisis permasalahan ekologi melalui bidang ekonomi, karena terdapat kesalahan manajemen pada urusan manusia di era industrialisasi sekarang ini. Smith menjelaskan perlunya tingkah laku yang bermoral sebagai sebuah evolusi. Terutama oleh kaum agamawan, yang memiliki ”agama” (kehendak menafsir, meminjam istilah Gadamer) untuk kebaikan umat manusia. Agama harus mengajarkan hubungan manusia yang bertanggung jawab ke arah sifat dasar dunia.

Mengapa kaum agamawan? Hal ini karena mereka merupakan entitas yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia ”tradisional”. Dengan sentuhan agama, seseorang akan mudah disadarkan bahwa eksploitasi alam akan mendatangkan kerusakan di muka bumi. Dengan agama pula, seseorang mempunyai kesadaran kritis untuk tidak melakukan tindakan yang merugikan dirinya sendiri. Karena agama masih menjadi ”panduan suci” dalam setiap aktivitas umat manusia.

Kaum agamawan pun demikian. Dia adalah panutan masyarakat. Apa yang dituahkan akan dituruti tanpa harus banyak berdebat. Hal ini karena masyarakat menganggap mereka sebagai manusia terpilih.

Namun, apa yang terjadi sekarang ini? Agama dan kaum agamawan lebih disibukkan oleh urusan politik praktis. Agama dijadikan alasan pembenar atas segala tindakan atau perilaku politik. Agama pun dijual murah untuk meraih suara terbanyak. Simbol-simbol agama pun menjadi hal dominan dalam iklan politik saat Pemilu 2009 dan menjelang Pemilukada 2010. Kaum agamawan pun berlomba meraih kursi di tingkat DPRD tingkat I dan II, DPR RI, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota.

Jika keadaannya demikian, kepada siapa lagi masyarakat berkeluh kesah dan meminta ”fatwa”? Masyarakat akan sulit mencari figur yang dapat membimbingnya untuk berperilaku dan menjaga ekosistem alam. Kaum agamawan sudah tidak lagi punya banyak waktu untuk mendidik warganya agar sadar lingkungan karena waktunya habis untuk urusan lobi, intrik, dan manuver guna meraih jabatan di pemerintahan.

Kerusakan lingkungan akibat illegal logging tidak menjadi isu sensitif agama dan kaum agamawan. Bagi mereka, isu krusialnya adalah bagaimana menjalankan mesin partai, menjaga kandang agar tidak kebobolan, dan bersiap melakukan serangan balik jika lawan politiknya menyerang atau melakukan manuver. Kerusakan lingkungan dan bencana alam tidak pernah dicarikan solusinya (fatwa). Padahal merusak lingkungan merupakan perbuatan keji yang dilarang Tuhan. ”Telah tampak kerusakan di daratan dan laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar),” (Q.S. ar-Ruum, 30:41).

Keadaan seperti ini sudah saatnya diakhiri. Kaum agamawan saatnya kembali mengabdikan hidupnya untuk umat. Kaum agamawan selayaknya menyisakan sedikit tenaga dan waktunya untuk menjaga harmoni antara manusia dan alam. Kaum agamawan sudah saatnya menyuarakan fatwa (seruan) menjaga alam. Khotbah-khotbah Jumat (bagi umat Islam), dan Minggu (bagi umat Katolik dan Protestan) sudah saatnya dihiasi rujukan kitab suci dan penyadaran agar umat tidak menyia-nyiakan alam.

Warga perlu disadarkan bahwa alam sangat terbatas. Jika manusia mengeksploitasi alam, maka, ia meninggalkan kerusakan dan generasi lemah. Akan banyak generasi mati sia-sia tanpa sempat menikmati indahnya hidup di bumi. Keindahan bumi dan kelestarian bumi sudah saatnya kita jaga bersama. Kerusakan bumi merupakan bencana bagi kelangsungan hidup manusia. Ini karena di bumilah manusia hidup dan meneruskan keturunannya.

Sudah saatnya agama dan kaum agamawan turut serta menjadi penjaga alam dari kerusakan. Mereka merupakan harapan bagi masyarakat Indonesia yang konon religius dalam menjaga makro dan mikrokosmos bumi. Tanpa kesadaran kaum agamawan, banjir dan tanah longsor akan terus menjadi agenda tahunan. Pada akhirnya, umatlah yang akan menjadi korban. Wallahualam.***

Penulis, peneliti Lentera Institute.

Menjamin hak menolak diskriminasi

Solo Pos, Kamis, 18 Februari 2010 , Hal.4

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan menuai pro dan kontra. Pihak pro menyatakan bahwa RUU ini akan menjamin “kemerdekaan” bagi perempuan. Artinya, hak-hak perempuan akan terjamin sehingga ia tidak akan ditelantarkan oleh calon suami atau suami mereka sendiri.



Namun, bagi pihak kontra, RUU ini menciderai kebebasan pribadi. RUU ini dinilai lebih pada usaha mengatur urusan privat. Ada juga pihak kontra yang mendasarkan penolakannya pada dalil-dalil agama (Islam), sebagaimana aturan tentang diperbolehkannya melakukan poligami, bagi seorang suami dalam Islam. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah prasangka-prasangka tersebut benar adanya? Bagaimana keberadaan RUU ini di masa yang akan datang?

RUU yang telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010 ini memuat ketentuan pidana (Pasal 143-153), khususnya terkait perkawinan siri, perkawinan mutah, perkawinan kedua, ketiga, dan keempat, serta perceraian yang dilakukan tanpa di muka pengadilan, melakukan perzinaan dan menolak bertanggung jawab, serta menikahkan atau menjadi wali nikah padahal sebetulnya tidak berhak. Ancaman hukuman untuk tindak pidana itu bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.

Sebagaimana dalam Pasal 143, “Melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah didenda paling banyak Rp 6 juta atau kurungan paling lama enam bulan”. Pasal 144, “Melakukan perkawinan mutah diancam pidana paling lama tiga tahun penjara dan perkawinannya batal demi hukum”. Pasal 145, “Melangsungkan perkawinan dengan istri kedua, ketiga, dan keempat tanpa izin dari pengadilan, dipidana denda paling banyak Rp 6 juta atau kurungan paling lama enam bulan”.

Pasal 146, “Menceraikan istri tidak di depan pengadilan didenda paling banyak Rp 6 juta atau hukuman enam bulan penjara”. Pasal 147, “Menghamili perempuan yang belum menikah sehingga hamil, sedang ia menolak mengawini, dipidana paling lama tiga bulan penjara”.

RUU ini juga mengatur soal perkawinan campur (antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah senilai Rp 500 juta.

Melindungi hak

Jika ditilik dalam perspektif pro-RUU, aturan-aturan tersebut merupakan agenda nyata pemerintah dalam melindungi hak-hak perempuan. Perempuan dalam sistem perkawinan Indonesia mendapatkan perlindungan hukum dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Perlindungan hukum terhadap perempuan merupakan sebuah keniscayaan di era sekarang ini.

Sebagaimana kita ketahui bersama, di masyarakat masih ada pembedaan hak antara laki-laki dan perempuan. Perempuan yang dipoligami misalnya, seringkali tidak mendapatkan hak yang bersifat kualitatif. Seperti kasih sayang, cinta dan perhatian.

Maka, tepatlah jika RUU ini mengatur keharusan seorang suami yang akan berpoligami harus seizin pengadilan. Hal ini karena pengadilanlah yang akan menentukan apakah seseorang mampu melangsungkan poligami dengan memenuhi dua unsur keadilan yaitu kualitatif dan kuantitatif.

Kehadiran RUU diharapkan semakin melengkapi UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). Kekerasan dalam rumah tangga akan dapat dicegah dengan pelarangan nikah siri dan nikah mutah. Pemidanaan nikah siri dan mutah merupakan pencegahan awal terjadinya kekerasan suami terhadap istri.

Kemudian mengapa banyak pihak menolak RUU ini? Memidanakan pelaku nikah siri, mutah, poligami tanpa izin pengadilan merupakan sebuah keadilan. Artinya, di tengah laju modernisme yang semakin cepat, pilihan pragmatis seringkali ditempuh oleh masyarakat.

Demikian juga dalam hal pernikahan. Jika pemerintah tidak melindungi warga negaranya, maka akan semakin banyak perempuan Indonesia manjadi janda karena dinikahi siri, mutah, dan poligami tanpa izin pengadilan.

Perilaku nikah siri dan mutah sebagaimana pernah ada di Puncak, Bogor, Jawa Barat, hanyalah seperti membeli kenikmatan dalam waktu sesaat. Setelah dipakai perempuan-perempuan tersebut dicampakkan begitu saja, tanpa diberi nafkah selayaknya seorang istri yang telah dinikahi.

Walaupun pernikahan merupakan urusan privat, namun ekses dari pernikahan merupakan urusan publik. Hal ini karena nikah bukan hanya urusan memuaskan nafsu, bertemunya seorang laki-laki dan perempuan, serta mendapatkan keturunan, namun nikah merupakan awal terbentuknya tatanan masyarakat yang beradab dan berkeadilan. Dalam teori sosial kritis misalnya, berkeyakinan bahwa perubahan sosial dimulai dari rumah, pada kehidupan sehari-hari manusia, misalnya seksualitas, peran keluarga, dan tempat kerja (Ben Agger: 2008).

Maka dari itu, jika dalam rumah saja dimulai dengan sesuatu yang terlarang dan dilarang, maka sulit diharapkan terjadinya perubahan sosial yang akan mendorong terciptanya masyarakat yang berkeadilan dan berperadaban.

Pelarangan nikah siri, mutah, dan poligami tanpa izin pengadilan, kiranya tepat guna menghindari justifikasi ayat-ayat kitab suci. Dengan peraturan ini seseorang akan tidak mudah menggunakan ayat suci untuk membenarkan perbuatan yang melanggar hak-hak hidup perempuan sebagai makhluk Tuhan.

Pada akhirnya, sudah saatnya RUU ini disambut dengan hangat dan didukung oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam. Hal ini karena RUU ini akan merupakan manifestasi dari ajaran yang mulia (Alquran) yang menjamin kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dan melarang adanya pembedaaan atau diskriminasi terhadap ciptaan Tuhan. Wallahu a’lam. -

Oleh : Benni Setiawan Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Pentingnya Pendidikan Berbasis Hak Asasi Manusia

01 Feb 2010, Media Indonesia, Pendidikan

Oleh Benni Setiawan
Penulis Buku Agenda Pendidikan Nasional tinggal di Yogyakarta
ISU hak asasi manusia (HAM) di Indonesia mulai mendapat tanggapan yang beragam dari masyarakat pascajatuhnya HM Soeharto dari kursi kepresidenan. Perbincangan mengenai HAM sering kali dikaitkan dengan rezim Orde Baru yang otoriter. Kasus-kasus yang dahulu menjadi agenda keberhasilan dalam menumpas gerakan separatis berubah menjadi persoalan serius di tengah masyarakat. Artinya, setiap penumpasan gerakan separatis selalu menyisakan persoalan pembunuhan, pembantaian, dan seterusnya yang sangat erat hubungannya dengan isu-isu HAM.



Ambil contoh, kasus Tanjung Priok, Tragedi-Lampung, Malapetaka Januari (Malari) 15 Januari 1974, penembakan aktivis di Trisakti dan Semanggi 1998, dan akhir-akhir ini pembunuhan aktivis HAM Munir. Ketika kasus-kasus tersebut diproses secara hukum, banyak kalangan yang "berpendapat bahwa sidang itu hanya formalitas. Aktor intelektual di balik aksi-aksi tersebut tetap dapat bernapas lega. Sebaliknya, eksekutor aksi meringkuk di balik jeruji besi.

Tulisan ini tidak akan membahas panjang lebar hal tersebut, tetapi hanya akan mengulas sedikit tentang pentingnya pendidikan berbasis HAM bagi bangsa Indonesia. Kebutuhan terhadap hal itu adalah mendesak mengingat implikasi pelanggaran HAM akan merambah ke segala aspek kehidupan sosial, politik, hukum, hingga ekonomi sebuah bangsa.

HAM menurut Frans Magnis Suseno (1987) adalah kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki oleh manusia, bukan diberikan kepadanya oleh masyarakat, bukan berdasarkan hukum positif (hukum-hukum yang berlaku), melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Manusia memiliki HAM karena ia adalah manusia. Pengertian di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa dengan HAM, manusia dapat disebut dengan manusia. Sebaliknya, jika HAM telah hilang dan dikangkangi kepentingan orang atau sekelompok orang yang Iain, kemanusiaan manusia telah hilang.

Dalam konteks itu, pendidikan mengenai HAM sudah selayaknya diberikan kepada masyarakat. Artinya, masyarakat harus disadarkan bahwa ia mempunyai HAM sebagai bekal mereka hidup sejak dini. Dengan demikian, ketika hak-haknya direnggut dan bahkan diabaikan

oleh orang lain, ia dapat membela diri. Secara lebih spesifik, pendidikan berbasis HAM diharapkan akan membawa kesadaran baru di masyarakat tentang pentingnya menghargai setiap individu berdasarkan hak asasi bawaan masing-masing.

Pendidikan berbasis HAM Salah satu lembaga yang mempunyai kewenangan mengajarkan HAM kepada masyarakat adalah pendidikan. Pendidikan tidak hanya berarti sekolah, pesantren, perguruan tinggi, dan seterusnya. Pendidikan juga berbentuk lembaga seperti keluarga, masyarakat itu sendiri, dan pemerintah.

Pengenalan HAM semestinya telah ditanamkan sejak di dalam keluarga. Artinya, keluarga mempunyai kewenangan (baca tanggung jawab) lebih untuk menanamkan HAM pada diri anak. Anak (manusia) mempunyai hak untuk hidup. Artinya, ia adalah insan merdeka yang oleh karena itu, anak tidak boleh disakiti dan siksa. Kekerasan terhadap anak yang baru-baru ini kembali merebak merupakan salah satu bukti belum sadar-nya keluarga akan arti penting HAM. Anak juga mempunyai hak untuk berekspresi. Artinya, pengambilan keputusan yang dilakukan dalam keluarga seyogianya memedulikan dan menghormati pendapat anak.

Ambil contoh, dalam menentukan sekolah. Orang tua tidak boleh memaksakan kehendaknya untuk menentukan sekolah anaknya. Orang tua setidaknya memberikan beberapa alternatif sekolah untuk dipilih anaknya. Hal itu tentunya didasarkan oleh pertimbangan baik, buruk, atau manfaat bagi calon peserta didik. Anak diberi keluasan dan kebebasan untuk memilih calon sekolahnya. Dengan demikian, ia akan merasa nyaman dengan pilihan yang telah diputuskannya.

Sekolah sebagai lembaga kedua pembentukan karakteristik anak dan pengembangan potensi merupakan kelanjutan pengenalan HAM yang pertama. Ketika keluarga mendasarkan pendidikan HAM pada pola atau tingkah laku secara langsung, sekolah mengajarkan HAM pada taraf teori aplikatif. Artinya, tidak hanya teori-teori perkembangan, pengertian HAM, tetapi didukung oleh data atau contoh-contoh pelanggaran HAM.

Seorang guru setidaknya juga mempunyai kewajiban untuk mengembangkan atau menunjukkan iktikad yang baik untuk mendidik berbasis HAM. Misalnya, guru harus menjadi orang tua yang baik bagi peserta didik. Guru harus mau menerima kritik atau sanggahan dari peserta didik. Hal itu didasarkan pada beragamnya bacaan atau pengalaman peserta didik. Dalam pendekatan mengajar, sesekali guru patut mencoba metode andragogi dengan siswa diperlakukan sebagai orang dewasa agar mereka dapat lebih mudah memahami hak-hak orang lain.

Jika seorang guru hanya mampu membaca tiga teks buku dalam satu mata pelajaran, 40 siswa dalam sebuah kelas, misalnya, tentunya mempunyai bacaan beragam. Kemampuan untuk mencerna sebuah buku pelajaran pun akan sangat berbeda satu peserta didik dengan peserta didik lainnya. Hal itu mengakibatkan semakin beragamnya pendapat dan gagasan yang dilontarkan oleh peserta didik.

Dengan demikian, guru harus menempatkan dirinya sebagai seorang yang menimba ilmu dari muridnya. Keadaan demikian akan menjadikan suasana kelas yang menyenangkan. Guru dan murid saling belajar. Tidak ada yang pandai dan bodoh di antara mereka. Yang ada hanyalah saling tukar pengalaman dan pandangan. Pendekatan andragogi dalam memperkenalkan

pendidikan berbasis HAM adalah keniscayaan. Dengan pendekatan ini baik guru maupun siswa dapat menjadi anutan untuk tiap kasus pelanggaran HAM yang dapat dielaborasi serta diinte-grasi ke dalam tiap mata ajar yang diampu oleh guru. Karena itu, tidak ada salahnya jika sekolah mencoba melakukan uji coba pendidikan berbasis HAM di sekolah masing-masing.

Selanjutnya adalah pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat juga mempunyai kewajiban untuk mendidik. Artinya, ia adalah bagian yang tak terpisahkan dari mata rantai pendidikan. Anak belajar dengan orang tua, sekolah, dan akhirnya kembali kepada masyarakat.

Gara masyarakat mendidik adalah dengan sikap. Misalnya, dalam sebuah masyarakat ada larangan untuk merokok atau anak kecil dilarang merokok. Masyarakat pun juga tidak diperkenankan untuk merokok di depan anak kecil.

Demikian pula di tempat-tempat umum. Seorang perokok harus menghormati hak orang lain yang tidak merokok. Maka, tepat apa yang telah diusahakan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, Pemkot Surabaya, Pemprov Jawa Timur, dan Pemprov DI Yogyakarta. Adanya peraturan larangan merokok di tempat umum adalah bukti adanya kesadaran masyarakat untuk menghormati hak seseorang untuk sehat dan menghirup udara segar.

Terakhir adalah peran serta pemerintah. Sebagaimana telah diungkapkan, pemerintah mempunyai tanggung jawab menjaga (baca menegakkan HAM). Kementerian Pendidikan Nasional, dalam hal ini, sudah seyogianya merumuskan pendidikan berbasis HAM untuk diajarkan di sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan lain. Sebagai bekal pengenalan HAM secara teoretis sejak dini.

Selain Kemendiknas, lembaga-lembaga lain juga harus menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat. Penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM yang tak kunjung usai adalah tanda kurang adanya iktikad baik dari pemerintah untuk mengajarkan atau mendidik bangsa berbasis HAM. Karena itu, kebijakan untuk menempatkan pola dan pendekatan pendidikan berbasis HAM di sekolah akan merupakan salah satu keputusan strategis yang perlu direalisasikan.

Pendidikan berbasis HAM pada dasarnya adalah usaha nyata semua pihak guna mewujudkan kehidupan yang seimbang (baca harmonis) antara hak dan kewajiban. Hal itu disebabkan ketimpangan antara hak dan kewajiban akan berakibatkan terjadinya disintegrasi bangsa, yang implikasinya sangat tidak baik bagi proses kehidupan berbangsa dan bernegara.