Search

Rabu, 19 November 2014

Tantangan Abad II Muhammadiyah

Oleh Benni Setiawan


"Wacana", Suara Merdeka, Selasa, 18 November 2014.


“Mengingat banyak dihuni birokrat, kerja-kerja persyarikatan saat ini lebih banyak dipenuhi atribut birokrasi”

MUHAMMADIYAH telah memasuki abad II. Tantangan dakwah abad ini tentu tak kalah rumit dibanding abad I. Pasalnya, Muhammadiyah tidak lagi berdiri sebagai ormas modern berbasis sosial kemasyarakatan di Indonesia tapi harus berhadapan dengan berbagai persoalan serius internasional. Persoalan internasional itu merupakan peluang bagi Muhammadiyah untuk makin berkiprah untuk umat.

Dengan bekal pengalaman seabad berorganisasi, Muhammadiyah diharapkan mampu mewarnai jagat pemikiran dan praksis sosial yang dibawanya sebagai role model. Ia bisa menghadapi masalah dan tantangan yang mengadang, betapa pun kompleksnya. Optimisme itu —meminjam istilah Haedar Nashir (2011)— dengan fondasi ideologi reformis dan moderat yang jadi karakter gerakannya plus pandangan Islam yang berkemajuan dan berbagai potensi SDM, amal usaha, dan jaringan.

Tantangan Muhammadiyah adalah mencoba memberikan sesuatu kepada publik internasional dengan modal sosial yang telah dimiliki. Setidak-tidaknya, dapat berperan dalam tiga hal utama, yakni ranah politik, ekonomi, dan kultural. Ranah politik merupakan kajian terhadap pilihan politik Muhammadiyah sejak awal pendiriannya. Seperti saat Kiai Dahlan ìberkompromiì dengan pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan cap ìlegalî pendirian sebuah ormas.

Kiai Dahlan perlu membangun kekuatan di Boedi Oetomo guna memperkuat dukungan agar Muhammadiyah tidak mendapatkan resistensi dari pemerintah kolonial. Dalam perjalanan selanjutnya, Muhammadiyah turut serta dalam kancah politik tahun 1955. Muhammadiyah menjadi anggota aktif Partai Masyumi dengan semboyan ìBerpolitik dengan Masyumi, Berdakwah dengan Muhammadiyahî. Peran kebangsaan dalam bidang politik pun terus bergulir pada era Orde Baru, tatkala Kiai AR Fachruddin menerima asas tunggal Pancasila. Pak AR, sapaan ketua terlama PPMuhammadiyah itu, dengan lobi kuat menelurkan istilah politik helm, yang menjadi cara untuk mendekatkan diri kepada pemerintah. Melalui ijtihad itu, Muhammadiyah pun selamat dari ìpemberedelanî ala Soeharto.

Ijtihad politik itu kini memasuki jihad konstitusi. PPMuhammadiyah mengajukan serangkaian uji materi kepada Mahkamah Konstitusi terkait UU yang tak berpihak kepada umat, seperti UU Migas. Ranah ekonomi merupakan kajian terhadap sistem ekonomi Muhammadiyah, ormas pemilik amal usaha terbanyak di dunia. Amal usaha itu merupakan sistem ekonomi yang tak dimiliki ormas lain. Sistem ekonomi yang tak bergantung mutlak kepada pemerintah inilah yang menguatkan jejaring ormas tersebut.

Merunut ke belakang, Kiai Dahlan sebagai founding father mengajarkan bahwa ekonomi umat harus dibangun sebagai implementasi teologi al-Maun dan al- Ashr. Ekonomi umat Muhammadiyah selayaknya kuat untuk menopang sistem ibadat yang membutuhkan uang. Pasalnya, setelah shalat kita diperintah-Nya membayar zakat. Itu artinya, umat Muhammadiyah diperintahkan jadi ”orang kaya” supaya mampu menghidupi diri dan orang lain melalui teologi filantropinya. Menyesuaikan Waktu Menilik sejarah, pada awal pembentukannya Muhammadiyah dikomandani para pedagang, yang kemudian menjadi penopang persyarikatan.

Berbekal spirit dan mentalnya, mereka menjadi lokomotif dakwah dan penyebaran Muhammadiyah ke seluruh penjuru negeri. Namun kini, etos dagang itu sedikit memudar. Pimpinan Muhammadiyah lebih banyak jadi birokrat (PNS), dan ini mengundang kritik. Mitsuo Nakamura misalnya, mengkritik dengan mengatakan bahwa corak awal persyarikatan itu sedikit memudar karena spirit dagang tak lagi menjadi locus Muhammadiyah.

Mengingat banyak dihuni birokrat, kerja-kerja persyarikatan lebih banyak dipenuhi atribut birokrasi sehingga untuk mengumpulkan pimpinan perlu menyesuaikan waktu mereka. Arti pentingnya mental pedagang persyarikatan ini perlu mendapat perhatian serius generasi terkini. Pasalnya, melalui spirit tersebut bangunan sistem ekonomi persyarikatan dapat kembali tegak.

Muhammadiyah tak perlu meminta-minta ke pemerintah untuk terus berkarya dalam bidang kemasyarakatan. Gerakan kultural Muhammadiyah dibangun dari amal usaha dalam bidang pendidikan. Muhammadiyah menjadi sumber inspirasi dunia dalam menjalankan ranah itu. Sekolah Muhammadiyah tumbuh dan berkembang dengan corak khasnya.

Sekolah ormas itu yang pada awal pendiriannya ala Barat kini bermetamorfosis menjadi lembaga unggulan yang tak bisa dipandang sebelah mata. Namun kini kehadiran sekolah Muhammadiyah tersaingi sekolah lain, semisal sekolah internasional Gulen Movement sehingga sekolah Muhammadiyah kerap dianggap nomor dua. Apalagi kini pemerintah menggalakkan sekolah negeri gratis. Banyak orang tak lagi memercayakan putra-putrinya dididik oleh sekolah Muhammadiyah. Inilah tantangan dalam bidang kultural (pendidikan) untuk bisa kembali menampilkan keunggulan di bidang pendidikan mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Selamat Milad Ke-102 Muhammadiyah, jayalah persyarikatan. (10)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar