Search

Senin, 27 Januari 2014

Kontruksi (Budaya) Bencana

Oleh Benni Setiawan


"Essai", Koran Sindo, Minggu, 26 Januari 2014

Banjir, tanah longsor, gunung meletus telah akrab dengan bangsa Indonesia sejak lama. Namun, penanganan apa yang kemudian disebut bencana tersebut seakan selalu gagap. Seakan-akan bangsa ini tidak berpengalaman menghadapi bencana. Seakan-akan bencana baru saja terjadi.

Sungguh pendek ingatan bangsa ini tentang bencana. Bencana bagi bangsa ini tampaknya baru terjadi saat ini, sehingga bencana yang telah lampau hilang dari alam bawah sadar. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa bencana seakan baru saja terjadi di republik ini sehingga penanganan terhadap hal itu selalu amburadul?

Tiga Hal

Irwan Abdullah (2008) menengarai ada tiga hal dalam menghadapi bencana alam. Pertama, bencana seyogianya ditanggapi sebagai “proses” yang harus dilihat dari tahapan historis, dalam sumber- sumber pembentukan dan kelahirannya, dalam nilai-nilai yang dipilih, dandalamkekuatanyangmenggerakkan proses itu hingga menjadi suatu bencana. Sebagaisebuahproses, bencanadapat dikelola dan dikendalikan pada tingkatan yang berbeda-beda berdasarkan kemampuan pengetahuan, sikap, tindakan- tindakan, dan kelembagaan yang tersedia.

Pemahaman yang lengkap tentang keseluruhan hubungan manusia dengan lingkungan dalam proses mutual production of each other existence, memungkinkan adanya prediksi dan kesiapan dalam menghadapi bencana itu sendiri dan juga memungkinkan minimalisasistatuskerentananmasyarakat terhadap suatu bencana. Kedua, suatu bencana perlu ditanggapi sebagai “konteks”, bukan sekadar event atau peristiwa yang terjadi pada suatu saat.

Sebagai sebuah konteks, dia memberikan perspektif dan definisi tentang code of conductyang dipatuhi secara kolektif, baik bagi masyarakat maupun berbagai pihak lain dalam berbagi bentuk tindakan dan kebijakan yang dirumuskan dalam situasi normal. Dengan melihat bencana sebagai konteks, kita bisa membebaskan diri dari suatu perangkap normalitas di mana kehidupan yang merupakan kehidupan yang bersifat labil atau disorder sehingga membutuhkan pengakuan dan praktik penafsiran yang lain secara akademis maupun kebijakan.

Keberadaan “daerah bencana” atau “korban bencana” merupakan ruang kebijakan yang harus menjadi bagian dari suatu kebijakan normal sehingga tidak seharusnya dirumuskan secara mendadak, tiba-tiba, pada saat bencana itu hadir dan seperti biasanya, menimbulkan chaosdan disorganized. Ketiga, bencana sebagai “ranah’ bagi pemahaman yang lebih dalam dan mendasar tentang hakikat dari hubunganhubungan dalam konstruksi masyarakat.

Melalui bencana dapat diketahui esensi dan rahasia tentang kelemahan dan kekuatan tersembunyi dalam suatu masyarakat, yang dalam situasi “normal” tertutup oleh sistem dan struktur yang membungkusnya. Karena keberadaan dan akibat suatu bencana menjangkau spektrum yang luas, bencana memberi potensi untuk menghubungkan analisis ilmu sosial dengan pilihanpilihan ideologis dan kepentingan yang menentukan kehadiran suatu bencana, mempengaruhi tanggapan, serta misi yang diemban dalam keseluruhan proses pemulihan dan rekonstruksi.

Kemanusiaan

Bencana yang terjadi di Indonesia tampaknya jauh dari ketiga hal tersebut. Bencana tidak dipahami sebagai sebuah proses sehingga produk penanganannya selalu saja bagai pemadam kebakaran. Saat bencana datang, semua bak jadi pahlawan yang mampu mengurai masalah tersebut. Namun, saat semua kembali normal, kita lupa tugas dan kewajiban untuk senantiasa menjadi harmoni dengan alam. Alam kembali kita babat sehingga gundul dan gersang. Proses pemahaman yang timpang tersebut kemudian berhubungan erat dengan konteks.

Konteks bencana telah lenyap sehingga tidak ada master plan (program berkelanjutan) penanganan bencana secara terpadu. Setiap lembaga, baik pemerintah maupun swasta mengajukan konsepnya sendiri, dan enggan untuk menjalin komunikasi dengan satuan lain. Kondisi inilah yang kemudian menjadikan korban bencana sebagai pihak penderita. Masalah selesai ketika mereka diungsikan dan diberi kebutuhan pokok. Padahal mereka juga manusia, yang dianugerahi pikiran dan kekuatan oleh Tuhan.

Mereka bukanlah penderita. Mereka adalah kekuatan nyata untuk bangkit dari keterpurukan akibat bencana. Penanganan yang keliru dan menempatkan manusia sebagai “korban” inilah yang kemudian mendistorsi makna kemanusiaan. Kemanusiaan sirna saat bencana datang. Padahal kemanusiaan adalah kekuatan manusia untuk berbuat lebih, setidaknya untuk dirinya sendiri. Ketika kemanusiaan telah sirna, proses pemahaman hubungan manusia dan alam pun akan lenyap.

Manusia sulit memahami bahwasanya dirinya membutuhkan alam. Sebaliknya alam membutuhkan sentuhan manusia. Meminjam istilah filsof Yunani kuno sebelum Socrates, alam adalah sumber kebajikan. Namun, saat kemanusiaan tak menjadi bagian dari manusia, ia akan berada dalam posisi yang superior. Manusia memandang ia penguasa alam. Namun, saat bencana datang, ia bagai sampah yang tersapu angin, lemah tak berdaya.

Oleh karena itu, mengembalikan dan menumbuhkan kemanusiaan dalam diri manusia menjadi hal utama, jika bangsa ini ingin bangkit dari bencana. Kemanusiaan harus dikembalikan dalam posisinya sebagai hal yang inhern dalam tubuh manusia. Sehingga ia mampu berkaca, berpikir, merenung, dan berbuat agar kekacauan akibat bencana tidak berulang di kemudian hari.

Menyoal Intoleransi oleh Negara

Oleh Benni Setiawan


Gagasan, Solo Pos, Jum'at, 24 Januari 2014

Potret keberagamaan di Indonesia masih buram. Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan 2013 oleh The Wahid Institute menunjukkan jumlah kasus intoleransi selama tahun kemarin sebanyak 245. Jumlah tersebut menurun dibandingkan dengan tahun 2012 yang mencapai 278 kasus. Namun, pemerintah dinilai belum memiliki pola penyelesaian kasus sehingga banyak korban pelanggaran kebebasan beragama yang terabaikan selama bertahun-tahun.

Dari 245 kasus, 106 peristiwa melibatkan aktor negara dan 139 peristiawa oleh aktor non-negara. Pelaku pelanggaran dari aparat negara, antara lain, mencakup pemerintah kabupaten/kota (32 kasus), disusul aparat kepolisian (30 kasus), aparat kecamatan (9 kasus), dan satpol PP (6 kasus). Kasus terbanyak di Jawa Barat (40 kasus), diikuti Jawa Timur (19 kasus), Jawa Tengah (10 kasus), dan Jakarta (8 kasus).

Bentuknya berupa pelarangan rumah ibadah, pemaksaan keyakinan, pelarangan kegiatan keagamaan, kriminalisasi dan diskriminasi atas dasar agama, pembiaran, serta pelarangan aliran keagamaan yang diduga sesat. Korbannya antara lain kelompok Syiah, jemaat gereja, dan Ahmadiyah (Kompas, 21 Januari 2014).

Bertolak Belakang
Praktik intoleransi yang dilakukan oleh aparat negara seakan bertentangan dengan Pasal 28 E ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya”. Hak ini juga dijamin dalam Pasal 29 ayat (2) : "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”.

Selain termuat di dalam Lembaran Negara berupa hukum tertinggi, kebebasan berkeyakinan dan beragama pun termuat dalam Pasal 71 dan 72 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 71 menegaskan bahwa “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang.diterima oleh negara Republik Indonesia.”

Pasal 72 disebutkan bahwa “Kewajiban dan tanggungjawab pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.”

Dua ketentuan di atas menjadi bukti otentik, selayaknya negara menghormati dan melindungi pilihan keyakinan itu. Bukan malah menjadi pendulum praktik intoleransi.
Intoleransi oleh negara bertolak belakang dengan semangat kebhinekaan. Melalui “kekuasaannya” negara seakan ingin menyatukan pluralitas keberagamaan tersebut. Padahal, menyatukan keyakinan berarti meniadakan keragaman (kebhinekaan).

Menyatukan keyakinan dalam beragama juga menyalahi Sunnatullah. Pasalnya, Allah telah menciptakan manusia dalam rupa dan ragam yang berbeda. Dalam setiap rupa itu tentu mengandung perbadaan dalam cara pandang. Alih-alih menyatukan keyakinan tersebut, dalam satu masjid saja, praktek salat seringkali berbeda antara satu jamaah dengan jamaah lain.

Oleh karena itu, keragaman dalam keberagamaan merupakan modal sosial bagi kebangkitan umat. Keragaman selayaknya disemai menjadi kekuatan dalam membina keagamaan yang aktif, meminjam istilah Nurcholish Madjid.

Keagamaan yang aktif merupakan serangkaian aktifitas beragama yang tidak hanya berorientasi pada hal-hal yang berhubungan dengan akherat (eskatologi). Namun, mewujud dalam keseharian berdimensi sosial (kebangsaan).

Dimensi sosial merupakan hal mutlak yang perlu terus diusahakan oleh umat beragama. Pasalnya, dimensi sosial merupakan bagian dari peribadatan yang paling nyata. Ia merupakan wujud dari keagamaan yang saleh.

Seseorang tidak dapat disebut sebagai orang yang saleh (baik), jika ia hanya mementingkan ibadah mahdloh (ibadah individu) saja, dan meniadakan ibadah sosial (ghoiru mahdloh). Ibadah sosial merupakan wujud dari kesalahen ibadah individu. Pasalnya, antara ibadah individu dan ibadah sosial merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ia bagaimana dua sisi dalam mata uang.

Sepakat dalam Perbedaan
Lebih lanjut, dalam membina kerukunan dan meniadakan praktik intoleransi, selayaknya negara, mau belajar bagaimana membina kerukunan dari pendahulunya. Salah satunya dari, Profesor Mukti Ali. Guru Besar IAIN (kini UIN) Sunan Kalijaga ini melontarkan konsep yang sangat terkenal, yaitu, agree in disagreement (sepakat dalam perbedaan).
Pernyataan khas Mukti Ali yang kemudian menjadi spirit dalam membangun keberagamaan di Indonesia tersebut disampaikan pada November 1971, dalam simposium di Goethe Institut Jakarta.
Sepakat dalam perbedaan merupakan realitas historis yang selayaknya dipahami oleh negara. Ketika kita tidak bersepakat dalam perbedaan, maka yang terjadi adalah permusahan. Permusuhan yang didasari atau dilandasi oleh agama, merupakan awal dari sebuah malapetaka.

Oleh karenanya, seyogianya negara mampu menjaga keberagamaan di Nusantara, bukan malah menambah permusuhan di antara umat beragama. Negara sudah saatnya menoleh lembaran sejarah kebangsaan dan belajar dari pada pendahulu. Negara selayaknya mengembangkan konsepsi Mukti Ali tersebut, bukan malah mengeruhkan suasana kebhinekaan.

Bukan Alat Kejahatan
Negara merupakan pengayom bagi seluruh komponen bangsa. Jika negara gagal mengemban amanat ini, maka kebangsaan akan rapuh dan hancur. Pasalnya, negara hanya menjadi tameng bagi kelompok-kelompok tertentu untuk membenarkan tindak kejahatannya.

Pada akhirnya, praktik intoleransi oleh negara merupakan potret buram dan tamparan bagi falsafah bangsa (Pancasila). Oleh karena itu, negara selayaknya menyadari kekeliruannya, karena negara bukan alat kejahatan. Namun, sarana menjaga harmoni kebangsaan.